Page 34 - BUKU TIGA - WAJAH BARU PARLEMEN INDONESIA 1959-1966
P. 34
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
adalah dengan menyelenggarakan Musyawarah Nasional yang dihadiri
tokoh-tokoh nasional dan militer, termasuk mengundang Mohammad
Hatta.
Pemberontakan tersebut pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Meskipun demikian, dampak psikologis politiknya sangat besar.
Masyumi ternodai dengan cap sebagai pendukung pemberontakan,
sedangkan Soekarno makin dekat ke PKI dibandingkan dengan partai-
partai lain. Kedudukan militer dalam pentas politik Indonesia juga
makin berpengaruh.
Bulan September 1958, pemilihan anggota DPR yang rencananya
akan diadakan pada tahun 1959 ditunda oleh kabinet Juanda.
Pengumuman ini merupakan kelanjutan dari desakan Masyumi
dan PSI sebelumnya yang ingin pemilu ditangguhkan. PNI dan NU
juga berpandangan sama. Tampak ada kekhawatiran dari partai-
partai tersebut bahwa PKI akan menjadi pemenang bila pemilu
diselenggarakan. Hal tersebut dapat mengacu pada satu tahun
sebelumnya saat diselenggarakan pemilihan-pemilihan untuk memilih
anggota DPRD provinsi, perolehan suara PKI mengalami peningkatan
Pemberontakan cukup signifikan. Di Jawa perolehan suara partai ini meningkat 37,2
tersebut pada % lebih tinggi dari suara yang diperoleh pada tahun 1955. Perolehan
akhirnya berhasil suara partai “empat besar” di daerah pemilihan Jawa Tengah dan
dipadamkan. Jawa Timur pada bulan Juli 1957 adalah PKI 34 %, NU 29 %, PNI 26 %,
Meskipun dan Masyumi 11 %. Di Jawa Timur NU masih tetap di urutan pertama,
tetapi perolehan suaranya berkurang dan PKI hanya kalah kurang dari
demikian, dampak 3%. Masyumi masih tetap memimpin dalam pemilihan-pemilihan di
psikologis Jawa Barat pada bulan Agustus, tetapi PKI menggantikan posisi PNI
politiknya di urutan kedua. Di Sumatera Selatan, pemilihan-pemilihan daerah
sangat besar. hingga bulan pertama tahun 1958 menunjukkan bahwa Masyumi masih
tetap merupakan partai terbesar, tetapi PKI juga telah menggeser PNI
di urutan kedua. 43
Akan tetapi, kaum elit politik di Jakarta tidak berhasil mencapai
kesepakatan tentang langkah berikutnya yang akan diambil. Majelis
Konstituante misalnya, tetap menghadapi jalan buntu mengenai dasar
falsafah bagi konstitusi yang baru. Semua situasi dan kondisi tersebut
pada akhirnya makin mendorong Soekarno untuk segera melaksanakan
ide demokrasi terpimpinnya.
Ada perbedaan sikap antara partai-partai politik terhadap
keinginan Soekarno. Hal ini terlihat misalnya dari hasil pertemuan
43 Ricklefs, Op.Cit., hlm. 540, 543
dpr.go.id 28