Page 572 - BUKU EMPAT - DPR RI MASA ORDE BARU: MENGUATNYA PERAN NEGARA 1967-1997
P. 572
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
jero,” ungkap Budi Hardjono.
Sikap yang sama disampaikan oleh F-KP DPR. Irsyad menyatakan,
F-KP sepakat bahwa Presiden Soeharto harus mengundurkan diri.
Namun, itu dilakukan secara konstitusional, dan tetap memberi tempat
terhormat kepada Presiden Soeharto. “Langkah konstitusional untuk
mengakomodasi itu tergantung dari tawar-menawar antara Presiden
dengan pihak legislatif, bisa DPR atau MPR,” tutur Irsyad kepada pers.
Hal yang sama disampaikan oleh Ketua F-ABRI Hari Sabarno,
yang mendapat kesempatan terakhir untuk menyampaikan sikap
fraksinya. F-ABRI sepakat dengan aspirasi bahwa Presiden Soeharto
harus mengundurkan diri dengan cara yang konstitusional. Namun,
sebagai bangsa harus tetap memberi tempat terhormat kepada figur
yang telah memimpin bangsa selama 32 tahun ini.
Usai seluruh fraksi menyampaikan pandangannya, maka Ketua
DPR/MPR Harmoko mengambil kesimpulan bahwa seluruh fraksi
sepakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri, sebagaimana
telah disampaikan pimpinan DPR kepada Presiden. Dan proses
Di sisi lain, pada itu dilaksanakan secara konstitusional. Dalam kesimpulan awal
ditambahkan bahwa hal itu agar dilaksanakan dalam waktu secepatnya.
tanggal yang sama,
Namun kata “secepatnya” itu tidak diterima oleh Fraksi ABRI, sehingga
upaya perlawanan dalam kesimpulan kata itu hilang. Kesimpulan akhir tersebut kemudian
justru dilakukan disetujui oleh seluruh pimpinan DPR dan pimpinan fraksi.
Soeharto guna Di sisi lain, pada tanggal yang sama, upaya perlawanan justru
dilakukan Soeharto guna mempertahankan kekuasaannya. Di
mempertahankan
antaranya, mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh agama
kekuasaannya. dan tokoh masyarakat terkemuka di negeri ini, seperti Abdurrahman
Wahid, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Najib, dan Amidhan. Dalam
kesempatan itu, Soeharto mengajukan idenya untuk membentuk
Komite Reformasi sebagai pemerintahan transisi hingga dilakukannya
pemilu berikutnya. Akan dilakukan pula perombakan (reshuffle)
terhadap Kabinet Pembangunan VII dan mengganti namanya menjadi
Kabinet Reformasi. Namun, pada akhirnya, upaya-upayanya itu gagal
dilaksanakan. Tawarannya ke sejumlah tokoh yang ditemuinya pada
19 Mei itu untuk bergabung ke Komite Reformasi ditolak.
Soeharto semakin terpukul setelah 14 menteri di bawah
koordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menolak bergabung
dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle. Bahkan,
dalam pernyataan tertulis yang disusun di Gedung Bappenas pada
20 Mei 1998, 14 menteri itu secara implisit meminta Soeharto untuk
dpr.go.id 572
Buku 4 Bab VII CETAK.indd 572 11/22/19 6:07 AM