Page 224 - Asas-asas Keagrariaan: Merunut Kembali Riwayat Kelembagaan Agraria, Dasar Keilmuan Agraria dan Asas Hubungan Keagrariaan di Indonesia
P. 224
redistribusi tanah dihentikan. Setelah itu tidak banyak lembaga baik
13
nasional dan regional yang mengurus masalah agraria. Hanya ada
Dirjen Agraria yang mengurusi masalah registrasi perpajakan tanah
(IPEDA) dibawah depdagri. Setelah 6 tahun UUPA lahir, pemerintah
Orde Lama berupaya menjalankan sejumlah amanat yang dikandung
UUPA 1960 untuk menyejahterakan dan membebaskan rakyat
Indonesia dari penindasan melalui program landreform. Namun
konflik kepentingan atas sumber daya agraria di Indonesia memuncak
dalam konflik elit politik yang berujung pada peristiwa 1965-1966
dan jatuhnya Orde Lama. Akhirnya, agenda reforma agraria yang
dicanangkan dan dimulai oleh pemerintahan Orde Lama di bawah
kepemimpinan Sukarno berhenti di jalan.
5. Masa Orde Baru
Sepanjang rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998) politik
agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah
adalah politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria semacam ini
menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta
objek eksplotasi dan akumulasi dari modal besar asing maupun
domestik yang beroperasi di berbagai sektor agraria. Berbagai
peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan
di lapangan agraria diabdikan untuk memenuhi orientasi politik
agraria yang kapitalistik itu. Sejak Soeharto dan rezim Orde Baru
berkuasa (1966) pelanggaran terhadap UUPA mulai berlangsung. Hal
ini tercermin dari orientasi dan praktek politik agraria yang ditopang
oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan sektoral
13 UUPA lahir sebagai pengganti UU Agraria 1870 yang dibuatan kolonial. Spirit dari
lahirnya UUPA adalah untuk melakukan perombakan total dari warisan sistem agraria
kolonial Beralnda. Setidaknya terdapat tiga prinsip pokok yang terkandung dalam UUPA ini,
yaitu: pertama, mengubah sistem agraria kolonial ke sistem agraria nasional sesuai dengan
kepentingan negara dan rakyat Indonesia, dan khususnya bagi petani Indonesia; kedua, untuk
mengakhiri sistem dualisme dan meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan yang didasarkan atas hukum adat; ketia, memberikan
kepastian hukum mengenai hak atas tanah untuk rakyat seluruhnya. Lihat Ahmad Nashih Lutfi,
dkk., tt. Kronik Agraria Indonesia, Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor.
Yogyakarta: STPN PRESS. Hlm. 14.
Permasalahan Sektoralisme Kelembagaan Agraria di Indonesia 193