Page 155 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 155

Hilmar Farid, dkk.
            tanah di Jawa ditanami setiap tahun, sedangkan luar Jawa hanya sekitar
            empat persen. Kalkulasi kasar itu masih bisa diperiksa ulang, namun
            gambaran besarnya sejak masa kolonial tampaknya tidak mengalami
            perubahan mencolok. Jika perkebunan besar tidak masuk ke perhitungan
            di atas, maka bagian kecil dari luas lahan yang diolah di luar Jawa itu
            sekitar 90 persen dilakukan dengan pola perladangan (swidden agricul-
            ture), bercocok tanam berpindah-pindah (shifting agriculture), atau
            tebang bakar (slash and burn farming). Faktor angin musim dari Austra-
            lia yang panas dan kering sangat berpengaruh terhadap kesuburan juga
            pemanfaatan lahan di Nusa Tenggara. 16

                Penduduk Nusa Tenggara, khususnya mereka yang tinggal di Mang-
            garai, memiliki cara tersendiri dan khas dalam mengelola atau meman-
            faatkan lahan pertanian di wilayahnya dan dilakukan secara adat. Tanah
            menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial masya-
            rakat. Tanah pun menjadi bagian dari adat dan penyelesaian persoalan
            yang menyangkut tanah juga diselesaikan secara adat. Pengelolaan atau
            pemanfaatan lahan ini dilakukan secara adil dan para tokoh adat ber-
            peran penting di dalam persoalan ini. Dalam sistem pertanahan khu-
            susnya di Manggarai, Nusa Tenggara, dikenal istilah lingko (tanah ulayat).
            Bagi masyarakat adat di Manggarai, tanah menjadi bagian yang tidak
            terpisahkan dari masyarakat. Setiap wa’u di Manggarai mempunyai
            tanah. Lingko adalah semua tanah yang dimiliki oleh satu wa’u (keturunan
            darah yang sama menurut garis ayah, klan patrilineal) yang tinggal di
            satu golo (bukit/puncak bukit/permukiman). Lingko mempunyai batas
            alamiah yang jelas seperti kali, selokan, pohon atau batu besar yang
            mudah dilihat dan sulit dipindahkan. Setiap orang mendapat bagian
            tanah garapan dalam lingko sesuai statusnya dalam struktur kekerabatan
            wa’u. Tu’a teno adalah orang yang bertanggung jawab membagikan tanah
            garapan itu. Besar-kecilnya lahan pertanian yang dibagikan diatur secara
            adat dan adil untuk komunitas adat ini. 17



                16  Clifford Geertz. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.
            Jakarta: Bhratara, Karya Aksara, 1983, hlm 13, 28.
                17  Lawang. Op.cit., hlm 33-72.
            146
   150   151   152   153   154   155   156   157   158   159   160