Page 156 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 156

Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
                   Lingko dengan demikian erat sekali dengan struktur sosial budaya
               serta ekologi masyarakat. Setiap kampung mempunyai banyak lingko
               berdasarkan sistem tenurialnya, dan sebagian besar di antaranya dibiarkan
               belum tergarap dalam sistem pertanian gilir-balik tebang bakar yang
               dipegang oleh masyarakat. Sistem tanam tradisional tersebut secara eko-
               logis cenderung merusak dan bahwa seluruh kawasan hutan akan dibuka
               dan dijadikan lahan garapan jika pemerintah Belanda tidak membuat
               pengaturan untuk melindungi kawasan. Sebagai masyarakat yang masih
               memegang dan menerapkan adat dalam kehidupan sosialnya, masyarakat
               Nusa Tenggara juga memiliki konsep mengenai pelestarian hutan yang
               berada di sekitar tempat tinggalnya. Hal itu tercermin dari keberadaan
               kawasan keramat dan hutan larangan. Ada kearifan lokal dari masyarakat
               Nusa Tenggara untuk  mengelola tanah atau  hutan sekitar tempat
               tinggalnya, seperti mereka terapkan pada lingko. Adat atau kesepakatan
               sosial yang dibangun dan dipelihara di masyarakat itu menjadi “perta-
               hanan” dalam menghadapi desakan kapital yang cenderung melanggar
               atau bahkan merusak pola pertanahan yang telah ada dan berlangsung
               secara turun-temurun. 18

                   Masuknya Belanda ke Nusa Tenggara dan kemudian diikuti pula oleh
               kapital di dalamnya turut mengubah akses masyarakat terhadap tanah.
               Perkebunan dan pertambangan tentu membutuhkan areal tanah yang luas
               untuk investasi di bidang ini. Hal itu jutru akan menaikkan harga tanah
               sekaligus kebutuhan tanah yang luas. Perselisihan menyangkut penguasaan
               atas tanah yang dimiliki masing-masing suku besar sekali, terutama jika
               satu suku mempunyai luas lahan yang kecil dibandingkan oleh suku lain
               yang berdekatan tempat tinggalnya. Ada berbagai faktor internal dan
               eksternal terkait perselisihan menyangkut tanah terutama di wilayah
               Manggarai, dan hal ini tampaknya menjadi fenomena umum di Kepulauan
               Nusa Tenggara. Namun, tekanan dari luar yaitu kapital yang mengabaikan
               adat sebagai faktor penting dalam sistem pertanahan daan kekerabatan di
               Nusa Tenggara kerap menjadi penyebab konflik pertanahan di wilayah ini.

                   18  Maribeth Erb. “Kebangkitan Adat di Flores Barat: Budaya, agama, dan tanah,“
               Adat Dalam Politik Indonesia. Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga
               (eds). Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.
                                                                        147
   151   152   153   154   155   156   157   158   159   160   161