Page 149 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 149
prinsip adat “duduok saampaghan, togak sapamatang” (duduk
sehamparan, tegak sepematang), yang menjunjung tinggi praktik
demokrasi kekeluargaan. Bagi mereka justru yang terjadi ialah
ibarat “nasi samo dimakan, koghak makan sughang” (nasi sama
dimakan, kerak makan sendiri), koperasi dalam praktiknya sering
menjadi wadah proyek kapitalis lokal untuk mengais keuntungan
pribadi kelompok elite koperasi dan elite desa. 171
Masyarakat adat yang menjadi bagian kelompok Pucuk Adat
dan Imam Negeri, jamaknya terdiri dari para pemegang sertifikat
sebanyak 450 orang yang tidak mau mendaftarkan sertifikatnya
ke koperasi, mengklaim terjadinya praktik-praktik kecurangan
yang dilakukan elite koperasi dalam mengusahakan lahan.
Beberapa bentuk kecurangan tersebut di antaranya; Pertama,
proses penentuan objek lahan bagi tiap-tiap penerima sertifikat
tidak dilakukan secara transparan. Terdapat masyarakat yang
mendapat lebih luas dari yang lainnya, salah satunya diakui oleh
salah seorang masyarakat adat dari pihak elite desa dan koperasi.
Selain itu, sungguhpun masyarakat memegang SHM atas tanah,
namun mereka tidak mengetahui persis di mana lokasi petak
lahan yang tergambar dalam sertifikat tersebut. Jadi, posisi persil
lahan secara tidak langsung–kalau tidak mau menyebutnya
“sengaja”–digelapkan.
Ketika masyarakat ditanya “apakah kamu punya bukti hak
milik atas tanah hasil reforma agraria atas lahan di Koto Senama
Nenek?” Mereka akan menjawab sama dengan kata “iya”. Namun,
apabila ditanya, “Apakah kamu bisa memberi tahu saya letak
persis titik-titik batas tanah yang menjadi hak milikmu itu?”
171 Wawancara S dan H, 2 April 2021.
114 Reforma Agraria Tanah Ulayat