Page 178 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 178
tidak sedikit juga masyarakat non-adat mendapat sertifikat hasil
program reforma agraria tersebut secara transaksional bersama
elite koperasi dan elite pemerintahan desa), tetapi secara material
(de facto) akses terhadap lahan sepenuhnya berada di tangan
perusahaan, yang dibantu oleh elite-elite dari pemerintahan
desa dan koperasi. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak
dapat memanfaatkan lahan dengan mengolanya sendiri secara
langsung, aman, dan mandiri.
Sementara itu koperasi tidak bisa menjalankan fungsinya
sebagai wadah yang baik bagi masyarakat adat penerima hak.
Tuntutan akan transparansi pembagian hasil dari elite pengurus
selalu menjadi persoalan yang menyebabkan munculnya berbagai
kecurigaan berujung konflik internal di masyarakat. Ditambah
dengan koperasi yang tak kunjung melaksanakan rapat anggota
tahunan. Hal ini merlahirkan persepsi-persepsi negatif terhadap
pengelolaan koperasi, muaranya adalah terkonstruksinya
pandangan di masyarakat, bahwa dengan perusahaan untuk
menikmati hasil kebun di Koto Senama Nenek untuk kesenangan
masing-masing.
Problem lain yang tak kalah dilematisnya, yakni anggapan
masyarakat adat bahwa tanah ulayatnya masih ada. Padahal,
setelah reforma agraria dilaksanakan, di mana lahan tersebut
telah dikavling ke dalam persil tertentu dan diterbitkan SHM
perorangan, maka sejak itu eksistensi ulayat sesungguhnya telah
tiada. Artinya, status ulayat atas lahan di Koto Senama Nenek
setelah reforma agraria menjadi berakhir–tidak lagi ada ulayat.
Dengan demikian, sejujurnya bisa dilihat bahwa agenda
politik pertanahan yang dikenal dengan sebutan reforma agraria
yang dilakukan di Senama Nenek masih jauh dari kata berhasil
Post-Case Senama Nenek, Suatu Pembelajaran 143