Page 175 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 175
Nenek dibolehkan untuk mengelola ulayat yang ada. Orang dari
luar lima suku di Senama Nenek bahkan juga dapat mengakses
petak lahan ulayat selama ia mendapat izin dari kepala suku yang
berwenang dalam ulayat suku atau dari Pucuk Negeri.
Menurut kepercayaan yang diamini masyarakat, tanah ulayat
merupakan harta pusaka tinggi yang biasa disebut juga sebagai
harta soko yang tidak boleh dibawa oleh seorang ninik mamak
atau kepala suku ke rumah istri atau anaknya. Maksudnya bahwa
ulayat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai objek waris. Tidak
pula diperbolehkan untuk menjual atau menggadaikannya,
kecuali terjadi empat kondisi, seperti; 1) ghumah godang
katighisan (rumah besar ketirisan), 2) mayat tabuju nan nak
diselamatkan (jenazah terbujur yang hendak dimakamkan), 3)
jando/gadi tuo nan ndak balaki (janda/gadis dewasa yang tidak
bersuami), dan 4) menogakkan adat jo pusako (mendirikan adat
dan pusaka). Secara turun-temurun tanah ulayat ini dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk melangsungkan hidup; baik menyangkut
kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya. Selain untuk tempat
tinggal, mereka juga memanfaatkannya untuk berladang kasang–
berladang dengan corak peladang berpindah.
Kebijakan pembangunan era Orde Baru yang melanggengkan
masuknya perusahaan modal besar di sektor perkebunan ke
Senama Nenek menjadi petaka bagi masyarakat adat dan ulayat
di Kenegerian Senama Nenek. Negara memperlakukan ulayat
di kenegerian itu bagai tanah tanpa tuan, sehingga dengan
sembarangan dan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat
diberikan izin pengelolaannya kepada perusahaan. Hal yang
menyebabkan masyarakat adat tereksklusi dari tanah ulayatnya.
140 Reforma Agraria Tanah Ulayat