Page 40 - Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria: Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agraria 1948-1965
P. 40

grondbezit”, panitia perlu mengadakan pembatasan buat seluruh
             Jawa. Minimum 2 hektar dan maksimum 10 hektar, dengan tidak
             memandang jenis tanah. Buat daerah luar Jawa perlu pernyelidikan
             lebih lanjut. (3) Menetapkan azas-azas yang jadi dasar hukum agraria
             baru. Di dalam suratnya tanggal 3 Februari 1950 No. 22/P.A, kepada
             pemangku jabatan Presdien RI, oleh Panitia dikemukakan, bahwa
             agar tidak bekerja sia-sia, sebelum melanjutkan pekerjaannya, yaitu
             “uitwerken” azas-azas tersebut dikehendaki agar pemerintah (BP
             KNIP) memberikan lebih dahulu persetujuannya.    36

                   Apa yang dimaksud dengan azas-azas sebagaimana disebutkan
             dalam poin tiga di atas terkait permintaan persetujuan yang
             dimintakan oleh panitia dalam hal persoalan mendasar dari hak-
             hak atas tanah yang berlaku pada masa kolonial. Lebih jauh Panitia
             Agraria mengemukakan argumen tentang tuntutannya itu khususnya
             terkait azas-azas hak atas tanah. Secara ringkas penulis kutipkan ulang
             beberapa point penjelasannya dengan mengubah ejaannya:


             A.   Melepaskan Domeinbeginsel
                   Sebagai alasan oleh Panitya kemukakan sebagai berikut:
                        Didalam waktu yang lampau (zman Belanda) domeinbeginsel
                   ini dipergunakan sebagai pokok oleh Pemerintah Belanda untuk
                   melenyapkan hak-hak ulayat (beschikkingsrech) dari paguyuban
                   hukum kecil-kecil (kleine Indon rechtsgemeenschappen), teristimewa
                   di Jawa dengan cara aniaya (onrechtmatig) ialah pada waktu
                   Pemerintah Belanda perlu menyediakan tanah-tanah liar untuk
                   perkebunan-perkebunan bagi para pengusaha tanah (ondernemers).
                        Berbeda dengan Pemerintah Kolonial, pemerintah nasional
                   seharusnya mengakui hak ulayat. Ini tidak berarti bahwa hak
                   ulayat itu dapat merintangi atau mengurangi hak negara untuk
                   menyediakan tanah liar guna dijadikan tanah-tanah perkebunan.
                   Atau pada umumnya itu tidak berarti bahwa pemerintah tidak
                   berhak mengatur hal ikhwal tanah liar atau usaha (gecultiveerde
                   gronden) sekalipun peraturan-peraturan itu mendesak hak desa


                   36 Ibid., hlm. 76.


                                Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agrariia, 1948-1965  29
   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45