Page 45 - Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria: Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agraria 1948-1965
P. 45

sekalipun situasi Indonesia jauh lebih kondusif dibanding pada periode
            pembentukan Panitia Agraria pertama, namun tak juga memberikan
            situasi yang mudah bagi para panitia untuk menghasilkan dasar-dasar
            hukum tanah yang baru. Tampaknya, dari beberapa data menunjukkan,
            restruturisasi kelembagaan di pemerintah sendiri menjadi kendala bagi
            panitia, karena sering terjadi perubahan susunan keanggotaannya.
            Sampai dengan 20 Juni tahun 1954, Presiden masih melakukan
            pengangkatan anggota panitia yang silih berganti keluar masuk,
            terakhir diangkat dengan Keppres No. 4/1954 dengan mengangkat
            Mohammad Sardjan, wakil dari Sarikat Tani Islam Indonesia (STII).
            Begitu juga dengan kedudukan sekretaris awalnya diisi oleh Soedjaman
            Gandasoebrata dan tahun 1954 diganti dengan Dody Abdulkarim dari

            pegawai Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri.   40
                 Dalam catatan laporan akhirnya, beberapa persoalan muncul
            sebagai akibat dari perubahan personil dan mendapat tugas-tugas
            khusus dari pemerintah, maka tidak banyak yang bisa dihasilkan dari
            Panitia Agraria Jakarta. Dari sedikit itu, panitia memberi beberapa
            kesimpulan perihal tanah untuk pertanian kecil sebagai berikut:

            1.   Membatasi minimum kepemilikan tanah, luas minimum
                 ditentukan 2 hektar;
            2.   Hukum waris perlu ditinjau lagi terkait pembatasan minimum
                 dan soal hukum adat;

            3.   Pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga;
            4.   Badan hukum tidak boleh mengerjakan pertanian kecil;
            5.   Hanya penduduk warga Indonesia yang bisa memiliki tanah
                 untuk pertanian kecil;


                 40 Sebagai catatan tambahan, situasi Indonesia sepanjang 1950-1959 adalah situasi yang
            sangat tidak jelas, situasi yang rumit dan kacau dalam sistem politik dan tata negara. Meminjam
            bahasa Adrian Vickers, periode 1950-an dalam dunia politik Indonesia adalah sebuah era “the
            disappering decade”, era yang tidak jelas (obscurity). Lihat Adrian Vickers, “Why The 1950s are
            Important to The Study of Indonesia”, Paper Workshop Rethinking Indonesian Historiography,
            Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara-UGM, 2005. Secara rinci Deliar Noer dalam
            penelitiannya menyebutkan, sejak 1950-1957 telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet, dari
            kabinet Hatta sampai Kabinet Ali Sastroamidjojo II, lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas
            Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: Mizan, 2000.


            34      Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50