Page 46 - Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria: Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agraria 1948-1965
P. 46
6. Tidak dibedakan antara warga negara “asli” dan “bukan asli”;
7. Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum:
- hak milik
- hak usaha
- hak sewa dan
- hak pakai
8. Hak ulayat disetujui untuk diatur—oleh atau atas kuasa undang-
undang—sesuai dengan pokok-pokok dasar negara.
Atas semua hasil di atas, secara khusus Menteri Dalam Negeri
meminta panitia meninjau dan mengajukan pendapat mengenai soal-
soal yang berhubungan dengan hak tanah untuk para transmigran.
Poin ini kemudian berhasil masuk dalam UUPA pasal 14 ayat c:
untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan. Persoalan kepadatan penduduk di Jawa sudah mulai
menjadi pemikiran di kalangan pemerintah pusat dan melihat potensi
Sumatra khususnya dan luar Jawa secara umum sebagai lahan baru
bagi pengembangan persebaran penduduk Indonesia.
C. Membangun Fondasi Kelembagaan, Menata
Pertanahan
Sudah disinggung di atas dengan terang bahwa keberadaan
Panitia Agraria Jogja dan Jakarta adalah buah upaya membangun
mimpi para pendiri negara tentang hukum tanah nasional. Kebetulan
Departemen Dalam Negeri berhasil mengelola dan merawat mimpi
tersebut. Akan tetapi, muncul wacana di dalam Dewan Menteri
bahwa ketidaklancaran kepanitiaan ini salah satu sebabnya adalah
keberadaan kelembagaan (Kementerian Agraria) itu sendiri yang
tidak dimiliki oleh negara. Sebenarnya, inisiatif negara muncul
untuk membangun kelembagaan agraria diawal tahun 1950-an.
Misalnya pada Kabinet Sukiman, 27 April 1951-3 April 1952, Presiden
Sukarno telah mengeluarkan Keppres 80/1951 dengan mengangkat 20
menteri. Pada menteri ke-20, disebutkan Menteri Urusan Agraria yang
Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agrariia, 1948-1965 35