Page 66 - Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria: Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agraria 1948-1965
P. 66

untuk pemungutan pajak tanah, dahulu dikenal dengan pajak bumi
             (landrente-Jawa-Madura, kecuali Yogyakata-Surakarta, Bali, Lombok
             dll.). Pendaftaran untuk fiskal tidak perlu dilakukan secara teliti karena
             tujuannya hanya agar pajak itu dibayar dan bisa ditetapkan secara
             seimbang dan merata. Tidak jadi soal apakah yang membayar pajak
             itu pemilik yang sebenarnya atau bukan, termasuk apakah pembayar
             pajak menempati tanahnya atau tidak.  70
                   Sebelum keluar PP 10/1961, tata cara pendaftaran tanah sesuai
             aturan kadaster yang benar telah diatur dalam Peraturan Menteri

             Agraria No. 9 tahun 1959 TLN, No. 1884 tentang Pedoman Tata
             Kerja tentang Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah, kemudian disusul
             Peraturan Menteri Agraria No. 10 tahun 1958 TLN No. 1885 tentang
             Tanda-tanda Batas Tanah Milik, lalu Peraturan Menteri Agraria No.
             13 tahun 1959 TLN No. 1944 tentang Tata Kerja Mengenai Pengukuran
             dan Pembuatan Peta-peta Pendaftaran, dan Peraturan Menteri Agraria
             No. 14  tahun 1959 TLN No. 1945 tentang Pembukuan Tanah.  Semua
                                                                        71
             aturan Menteri ini menginduk pada Keppres No. 55/1955 dan merujuk
             pada aturan hukum kadaster yang digunakan oleh Belanda. Oleh
             karena itu setelah UUPA lahir, PP 10/1961 yang mengatur pendaftaran
             tanah telah merujuk pada hukum tanah nasional.
                   Diantara tahun 1961-1965, setelah terbit PP 10/1961, kebutuhan
             tenaga spesifik untuk mengurus eigendomskadaster (penaftaran tanah)
             menjadi sangat penting. Menyitir pendapat Boedi Harsono, pada
             akhir 1950an telah terbit peraturan menteri Agraria yang mengatur
             pendaftaran tanah sebelum UUPA lahir, namun menjadi persoalan

             karena tidak dimiliki tenaga ahli yang memadai untuk mengerjakan
             pendaftaran tanah, begitu juga setelah PP di atas lahir semakin
             dibutuhkan Sumber Daya Manusia untuk secara cepat mengerjakan
             pendaftaran tanah. Pada periode tersebut hanya Jawa dan Madura yang
             bisa menyelenggarakan eigendomskadaster, luar Jawa masih belum
             bisa dilakukan.

                   70 Ibid., hlm. 42-43.
                   71 Mr. R. Soedargo, Perundang-Undangan Agraria Indonesia, Jilid II, Bandung: N.V. Eresco
             Dj. Eusaulum 1, 1962, hlm. 872-922.


                                Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agrariia, 1948-1965  55
   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71