Page 111 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 111
KARAKTERISTIK TANAH ADAT DI INDONESIA:
DINAMIKA MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN TANAH ULAYAT DI
NUSA TENGGARA TIMUR
Dian Aries Mujiburohman dan Mujiati
Ringkasan Ekskutif
Kepastian eksistensi masyarakat hukum adat dan pengakuan tanah “suku” diperlukan dalam
rangka pendaftaran tanah khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kepastian subyek dan
obyek hingga sekarang masih menjadi persoalan, apakah dikatagorikan sebagai tanah ulayat
ataukah tanah negara. Policy brief ini diperlukan sebagai bahan masukan dalam proses
pendaftaran tanah ulayat “suku” yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pendahuluan
Dikotomi tentang ada tidaknya masyarakat adat dapat diklasifikasikan dalam dua bagian,
yaitu pengakuan secara yuridis dan realitas/pengalaman empirik yang dimiliki oleh masyarakat
adat. Salah satu titik lemah dari perjuangan eksistensi masyarakat adat selama ini, hanya
sekedar claim sepihak dan terkesan perjuangan masyarakat adat merupakan urusan
elit/kelompok tertentu, sehingga setiap terjadi resistensi dari pihak luar (pemerintah dan
pemilik modal), maka gerakan segelintir orang menjadi tidak berdaya (Haba 2010, 263). Seacara
umum di dalam masyarakat hukum adat sering terjadi sengketa mengenai tanah-tanah
adat/ulayat, adapun penyebab timbulnya sengketa tanah Ulayat antara lain: a) Kurang jelasnya
batas sepadan tanah ulayat’; 2) Kurang kesadaran masyarakat hukum adat; 3) tidak
berperannya kepala adat dalam masyarakat hukum adat. Pengakuan masyarakat hukum adat
yang masih menjadi persoalan pada materi produk hukum daerah mengenai masyarakat
hukum adat pada umumnya saat ini terletak pada pengaturan 1) lembaga adat, peradilan adat
dan hukum adat; 2) keberadaan masyarakat hukum adat; 3) wilayah adat dan hutan adat; 4)
desa adat dan 5) lembaga pelaksana. (Arizona, Ishimora 2017). Untuk di akui eksistensi
Masyarakat Hukum Adat membutuhkan positivisasi yang dibuat oleh institusi negara, dengan
syarat: sepanjang masih hidup; sesuai dengan perkembangan masyarakat; sesuai dengan
prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia; diatur dalam Undang-Undang sebagai mana
diamanatkan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Pengakuan bersyarat ini membuat posisi
masyarakat hukum adat menjadi sulit, karena beban pembuktian keberadaannya dibebankan
kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Berdasarkan Permendagri No. 52 Tahun
2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat bahwa
Pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dilakukan oleh Gubernur dan
bupati/walikota dengan cara melakukan identifikasi keberadaan Masyarakat Hukum Adat
dengan melihat sejarah Masyarakat Hukum Adat; wilayah Adat; hukum Adat; harta kekayaan