Page 336 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 336
Masalah Agraria di Indonesia
Menurut laporan “Onderzoek naar de belastingdruk” dari
Dr. J.W. Meyer Ranneft dan Dr. Heunder pada tahun 1924,
landrente itu terkadang—karena rendahnya hasil padi— meru-
pakan hampir 100% dari penghasilannya. Terkadang ada
sawah yang disewakan yang besarnya sewa hanya sekedar
untuk dapat melunasi pajaknya.
Penarikan pajak itu dasarnya dikenakan kepada perseo-
rangan pemilik (pemaro) tanah. Karena kekurangan alat-alat
yang mengerjakan dan belum adanya bahan-bahan keterangan
yang cukup tentang tanah dan baik buruknya tanah itu, pena-
rikan dijalankan melalui desa (dorpsgewijs). Cara ini menim-
bulkan ketidakadilan dan tindakan pemerasan. Oleh Raffles
kemudian diusahakan untuk menjalankan penarikan pajak
menurut perseorangan dari pemilik tanah, dengan ditentukan
besar kecil dan baik buruknya tanah masing-masing. Kalau
dulu segala penarikan hasil dari Rakyat dijalankan melalui
Bupati, kemudian dijalankan langung dan buat sementara
waktu melalui desa. Penarikan “pajak bumi” kepada perseo-
rangan tidak dapat segera dilaksanakan. Sampai waktu Raffles
meninggalkan Indonesia, baru sebagian saja yang dapat dija-
lankan. Dari 2700 desa dalam daerah Surabaya, baru dapat
dijalankan di 50 desa saja, karena kurangnya syarat-syarat
dan alat-alat untuk menjalankan.
Sistim landrente ini diteruskan oleh Pemerintah Belanda.
Dengan Beslit Komisaris-komisaris Jenderal 9 Maret 1818 No.
1, dasar-dasar yang dipakai oleh Raffles diteruskan. Dengan
Keputusan Komisaris-komisaris Jenderal 1819 No. 5, diakui-
nya bahwa belum cukup syarat-syarat dan bahan-bahan kete-
rangan yang didapat untuk menetapkan dasar penarikan pajak
bumi secara perseorangan. Berhubung dengan itu usaha yang
315