Page 202 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 202

dalam Islam sebagai sumber utama dari nilai-nilai tersebut, padahal
             seperti diketahui mereka mendominasi pekerjaan sebagai buruh pabrik.
             Kaum perempuan berpindah secara tidak kritis dari satu lingkungan
             subordinasi ke lingkungan subordinasi lainnya; pertama dalam keluarga,
             kemudian ke pabrik dimana figur otoritas laki-laki mengawasi pekerjaan
             mereka ( Mather, 1983 dalam  Hadiz, 2005).
                 Begitupun konflik yang terjadi antara ponggawa besar dengan
             ponggawa menengah/kecil ataupun antara ponggawa dengan para
             petambak dan penyambang/pekerja profesional yang mereka pekerjakan
             cenderung tidak manifes. Konflik manifes cenderung potensial terjadi
             pada mereka yang berbeda klik dan memiliki sumberdaya yang sepadan,
             seperti yang terjadi antara ponggawa  Haji Maming dan  Haji Onggeng
             yang telah kami kemukakan diatas. Dimana konflik horizontal tersebut,
             dapat berlangsung dengan melibatkan seluruh komponen di dalam klik
             ponggawa bersangkutan.
                 Menariknya, meskipun diakui oleh sejumlah kalangan hubungan
             dalam usaha pertambakan telah terjadi kesenjangan sosial-ekonomi dan
             eksploitasi secara “terselubung”, namun hampir tidak pernah terjadi
             perlawanan oleh para petambak/penjaga empang atas “ketidakadilan”
             yang terus berlangsung. Mungkin saja petani kaya atau petani kelas
             menengah telah berhasil mengambil alih ideologi perlawanan dan
             menjuruskan ketegangan antar kelas yang disebabkan oleh kesenjangan
             distribusi sumberdaya lokal ke arah perlawanan terhadap pemerintah
             sebagai “musuh” bersama yang lebih besar. Tidak aneh jika kemudian
             konflik manifes yang sering terjadi di kawasan Delta Mahakam adalah
             konflik antara masyarakat lokal (petambak) dengan perusahaan migas
             yang dianggap sebagai bagian dari pemerintah. Ataupun antar kelompok
             ponggawa yang tidak memiliki kedekatan kultural dan emosional.
                 Juga terlihat adanya kecenderungan konflik manifes yang
             antagonistik, jika terjadi konflik vertikal yang melibatkan beberapa
             kelompok ponggawa dengan perusahaan eksportir yang secara primordial
             tidak memiliki kedekatan kultural dan emosional. Seperti diungkapkan
             Haji Sukri, seorang ponggawa dari  Muara Jawa, yang secara kolektif



             Tercerabut Atau Terakumulasi                                 175
   197   198   199   200   201   202   203   204   205   206   207