Page 197 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 197

berada diatas tanah-tanah negara) dan relatif dibawah kontrol para
            petambak, layaknya kegiatan pertanian pada umumnya, namun pola
            hubungan produksi yang terbangun hampir menyerupai pola produksi
            pada kegiatan perikanan tangkap. Dimana penghasilan yang diperoleh
            sangat fluktuatif dan penuh ketidakpastian, akibat komoditi yang
            diproduksi yaitu udang sangat dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar,
            bahkan banyak ditentukan oleh “kemurahan” alam. Akibatnya, mereka
            yang terlibat dalam kegiatan pertambakan tradisional, secara vertikal
            cenderung saling menggantungkan diri antara satu dan lainnya untuk
            mensiasati ketidakpastian, selama hal itu dianggap menguntungkan
            kedua-belah pihak.
                Seorang petambak akan menggantungkan dirinya pada ponggawa
            yang menjadi patronnya untuk mendapatkan berbagai bantuan “lunak”
            bagi kegiatan pertambakan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian,
            bahkan batuan lain diluar kegiatan pertambakan, seperti biaya
            berobat, perkawinan ataupun hajatan keluarga, serta untuk kebutuhan
            rumah-tangga, dst. Begitupun sebaliknya seorang ponggawa sangat
            menggantungkan harapannya pada kesetiaan dan loyalitas petambak yang
            menjadi kliennya untuk bisa mendapatkan kepastian pasokan udang. Hal
            serupa pun dirasakan oleh para penjaga empang yang menjadi klien dari
            para petambak ataupun ponggawa, sehingga dalam kegiatan pertambakan
            tradisional selalu diwarnai oleh hubungan yang bersifat personal, dengan
            komunikasi yang cenderung interpersonal dan tatap muka. Layaknya
            hubungan produksi pada kegiatan perikanan tangkap, dimana hubungan
            diantara nelayan pemilik dan buruh nelayan tidak didominasi oleh pola
            hubungan yang semata-mata bersifat bisnis dan impersonal, seperti pada
            hubungan buruh dan majikan di dunia industri ( Kinseng, 2007).
                Selain faktor kultural, yang masih dipertahankan oleh sebagian
            wiraswasta Bugis dalam proses produksi pertambakan tradisional,
            yang cenderung menggunakan jalur hubungan kekerabatan (faktor
            kekeluargaan ataupun etnisitas) sebagai sumber utama dalam perekrutan
            tenaga kerja. Pilihan untuk mempekerjakan saudara sendiri sesuai
            dengan peribahasa Bugis, “apabila kamu mempekerjakan seorang saudara



         170                      Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
   192   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202