Page 194 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 194

dapat diduga akan muncul pula di kawasan-kawasan lain di dunia,
             ketika kuasa dan kendali negara atas hutan atau tanah hutan gagal
             membenahi kemerosotan hutan dan memperparah kemiskinan rakyat
             yang menggantungkan hidup pada hutan.
                 Kerusakan lingkungan hidup akibat aktifitas manusia ataupun
             kegiatan berbagai industri disekitar kawasan Delta Mahakam menjadi
             semakin riskan, jika pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang
             beragam tersebut dilakukan secara eksploitatif tanpa memperhitungkan
             ambang batas daya dukung (carrying capacity). Seperti disinyalir  Peluso
             (1990) dalam “Networking in the Commons: A Tragedy for Rattans?”,
             bahwa eksploitasi sumberdaya hasil hutan alam non kayu (rotan) telah
             berdampak terhadap “ledakan penduduk” yang terlibat dalam jaringan
             perdagangan rotan di desa-desa sepanjang hulu sungai Mahakam,
             sehingga berpotensi menimbulkan “tragedy of the common”. Berdasarkan
             perhitungan  PKSPL-IPB, dampak konversi hutan mangrove ( land clearing)
             seluas 85.000 Ha untuk pembangunan tambak di Delta Mahakam,
             dengan asumsi luas vegetasi nipah yang telah ditebang diperkirakan
             mencapai 47.000 Ha dan vegetasi non nipah ( api-api, bakau dan tancang)
             seluas 38.000 Ha, maka kerugian langsung yang ditimbulkan adalah
             sebesar Rp. 922.920.000.000,-. Angka tersebut belum termasuk manfaat
             langsung lainnya dari keberadaan tegakan mengrove, seperti nilai satwa
             liar (burung dan mamalia) dan nilai-nilai tak langsung dari keberadaan
             ekosistem hutan mangrove, seperti jasa-jasa lingkungan dari ekosistem
             mangrove di Delta Mahakam.

             6.1.3 Konflik Penguasaan Sumberdaya Agraria
                 Berbeda dalam menangani konflik agraria yang melibatkan
             perusahaan migas, dimana pemerintah daerah cenderung berlaku
             proaktif, namun dalam penanganan konflik horizontal terkait masalah
             agraria, antara petambak dengan petambak ataupun ponggawa dengan
             ponggawa, pemerintah daerah terkesan kurang peduli, jika tidak ingin
             disebut “membiarkan”. Di dalam sebuah konflik horizontal pada
             pertengahan 2003 yang melibatkan ponggawa kuat,  Haji Onggeng dengan




             Tercerabut Atau Terakumulasi                                 167
   189   190   191   192   193   194   195   196   197   198   199