Page 217 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 217
(udang). Yang sudah barang tentu, akan sangat menentukan dalam proses
”pendisiplinan” perilaku para pemanfaat sumberdaya sebagai strategi
dasar. Harus dipahami jika melalui perilakulah, manusia berinteraksi
dengan manusia lain dan lingkungan sekitarnya, dimana banyak perilaku
manusia dapat mempengaruhi kelestarian lingkungan dan sumberdaya
alam disekitarnya. Yang perlu dilakukan adalah mendorong terwujudnya
kebijakan insentif dan disinsentif bagi para stakeholder, sehingga secara
perlahan mampu merubah perilakunya menjadi lebih ramah terhadap
lingkungan.
Di dalam praktiknya, dapat dikembangkan metode-metode sosial-
budaya lokal yang ramah terhadap lingkungan, dengan pemberian
pemahaman-pemahaman dan membangkitkan kepedulian masyarakat
dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir (mangrove). Mengingat arti
penting ponggawa berikut jaringan patronasenya, maka pengembangan
metode pengelolaan yang direncanakan dapat dimulai dengan menyentuh
langsung kepentingan pragmatis dari para ponggawa, misalnya dengan
melakukan ”propaganda” penolakan produk udang yang tidak ramah
lingkungan (area tambak di dalam kawasan hutan) oleh buyer. Bisa juga
dengan intervensi kekuasaan, tidak memberikan izin kelayakan ekspor.
Meskipun terkesan elitis, pola pendekatan ini pada akhirnya ditujukan
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan keterbukaan dalam
perencanaan pembangunan kawasan (ekonomi lokal) secara keseluruhan,
khususnya yang berkaitan dengan ekosistem pesisir (mangrove), dengan
memanfaatkan kekuatan struktur budaya lokal sebagai salah satu fokus
prioritas.
6.3 “AKRESI KAPITAL”
Terkonsentrasinya alat produksi, ditambah kemampuan ponggawa
dalam “menaklukkan” ruang kultural, dengan hegemoni kultural sebagai
strategi adaptasinya, menjadikan monopoli dalam kegiatan pertambakan
mampu mendorong terjadinya proses kapitalisasi pertambakan. Yaitu
proses akumulasi kapital yang dicapai dengan mendapatkan rente atau
190 Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang