Page 220 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 220

Bentukan akumulasi sumberdaya ekonomi inilah yang kemudian
             menggerakkan proses penumpukan kapital lokal, serupa dengan proses
             pembentukan Delta Mahaham yang merupakan hasil pengendapan
             lumpur abrasi dari hulu sungai Mahakam. Menariknya, ketiga ruang
             (ekologi, ekonomi dan sosio-kultural) saling mengiris di dalam ruang
             ekologis, hal ini sekaligus menjadi penanda bahwa penguasaan mangrove
             untuk kegiatan “pertambakan ilegal” hingga terkonsentrasinya alat
             produksi pada para ponggawa menjadi titik simpul yang paling krusial
             atas berlangsungnya proses “akresi capital” yang kemudian mendorong
             pembentukan ekonomi lokal. Meskipun proses pembentukan ekonomi
             lokal berbasis perikanan budidaya tidak bisa dipungkiri menyisakan
             “residu” khususnya dalam ruang ekologis (seiring dengan terjadinya
             degradasi kualitas lingkungan akibat konversi hutan mangrove secara
             massive). Namun kondisi tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari
             komitmen otoritas berwenang yang belum mampu “menyentuh
             kepentingan” para aktor kunci dalam kegiatan pertambakan, sehingga
             dapat menginput pada reproduksi strategi dan proses habitualisasi
             alternatif.
                 Gejala kapitalisasi pertambakan mulai terlihat sejak aktifitas ekonomi
             utama masyarakat setempat mulai bergeser dari kegiatan pertambakan
             skala kecil menjadi kegiatan pertambakan berskala luas, yang kemudian
             mendorong munculnya profesi baru dalam kegiatan pertambakan yaitu,
             penjaga empang dan buruh tambak. Kondisi ini terjadi ketika para
             petambak (ponggawa) yang tidak lagi sanggup mengelola tambaknya,
             mulai mendatangkan penjaga-penjaga empang, serta buruh tambak dari
             Sulawesi dan Pantura Jawa Timur. Sejak itulah, mulai terjadi pergeseran
             makna dalam hubungan patronase dalam kegiatan pertambakan, dimana
             para Ponggawa tidak lagi hanya memposisikan dirinya sebagai kepala
             keluarga tradisional yang terus menolong menutupi kebutuhan para
             pekerja, seperti membayar biaya keperluan darurat dan beberapa biaya
             lain untuk memenuhi kewajiban upacara adat seperti temuan  Vayda dan
             Sahur (1996). Namun mereka juga telah memposisikan dirinya sebagai
             produsen yang “memaksa” petambak-petambak yang terikat padanya



             Tercerabut Atau Terakumulasi                                 193
   215   216   217   218   219   220   221   222   223   224   225