Page 224 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 224

Dimana penguasaan tanah-tanah negara di kawasan Delta Mahakam,
             justru didorong untuk mendukung sukses pembangunan di sektor
             perikanan budidaya tanpa terlebih dahulu menata struktur agraria dan
             langsung mengejar tingkat produksi tertentu untuk mengamankan
             “ Program Udang Nasional”. Akibatnya, pola pengelolaan sumberdaya
             hutan mengrove (tanah negara) yang sejak awal tidak dikelola dengan
             baik, jatuh pada otoritas lokal untuk kemudian diserahkan secara
             sporadis dan massal pada mereka yang bermodal kuat dalam mengelola
             usaha pertambakan. Meskipun perekonomian mampu tumbuh dengan
             cepat, proses pengkonsentrasian penguasaan “lokasi” pertambakan
             tersebut, kelak menciptakan kesenjangan penguasaan alat produksi yang
             memperkuat berlangsungnya hubungan ketergantungan dan “eksploitasi
             terselubung”. Sekaligus memendam bibit konflik. Sementara satuan
             rumah tangga menjadi tidak otonom dan terjerat dalam hubungan
             patron-klien yang tidak memungkinkan munculnya kemandirian.
                 Menariknya, hegemoni kultural yang “dipinjam” dari tradisi elit
             tradisional ataupun dari para patron oleh elit ekonomi lokal (ponggawa
             yang berasal dari golongan to-maradeka), ternyata direproduksi ulang
             untuk mempertahankan kekuasaan yang diraihnya. Melalui jaringan
             patronase yang terbangun, mereka berhasil menciptakan ketergantungan
             pada para klien untuk bisa memberikan kepastian pasokan material
             raw. Meskipun demikian, pola hubungan patronase tampaknya masih
             menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi  passe’, sehingga
             mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatatif.
             Pola hubungan patron-klien yang adaptif, ternyata juga mampu
             menopang keberlangsungan “ekonomi lokal” berbasis pertambakan yang
             sarat persaingan dan ketidakpastian. Menjadikan biaya produksi tidak
             membutuhkan biaya tinggi. Mengingat produk yang ditawarkan ( udang
             windu) adalah produk khas dan tidak banyak diproduksi oleh produsen
             lain, sehingga menjadikan produsen lokal memiliki posisi tawar yang
             cukup baik di pasar regional, bahkan internasional.
                 Kedua, munculnya monopoli di sektor agraria. Komitmen yang
             kuat terhadap pertumbuhan pembangunan dan absennya negara



             Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang                         197
   219   220   221   222   223   224   225   226   227   228   229