Page 9 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 9
memetakan gambaran seluk-beluk transformasi agraria terkini yang
sedang mengiringi perjalanan hidup masyarakat Indonesia. Apalagi upaya
ini dipusatkan pada studi komunitas lokal di wilayah yang menjadi salah
satu simpul dari hubungan tarik-menarik kepentingan yang keras antar
para pihak sehubungan cadangan sumber-sumber agrarianya yang kaya
dan punya nilai strategis sebagai komoditi ekonomi nasional.
Selanjutnya, dapat kita bayangkan ciri transformasi agraria macam
apa yang telah terjadi dan pastilah teramat pelik dilalui karena seperti
kita ketahui terlebih dahulu telah berlaku pola atau struktur dasar
penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria warisan kolonial. Struktur
penataan agraria ini sejak awal sudah sangat menekan hak dan kebutuhan
ruang-ruang hidup masyarakat (lokal). Warisan ini di kemudian hari
menjelma menjadi ‘pegangan pokok’ dalam politik penataan struktur
penguasaan sumber-sumber agraria di zaman kemerdekaan, sehingga
pada gilirannya kerap menuai ketegangan-ketegangan dan bahkan
konflik-konflik sosial baik berskala laten maupun manifest, lokal maupun
supralokal. Dalam kaitan ini dapat dicatat perolehan tanah-tanah Negara
yang menggunakan dasar-dasar rasionalitan yang mirip dengan Domein
Verklaring Agrarisch Wet 1870.
Namun seraya dengan itu kepentingan pemenuhan hak dasar
masyarakat lokal di bidang lapangan kerja, kesehatan, dan pendidikan
seperti terabaikan begitu saja. Hak-hak atas tanah dan sumber agraria
lainnya bahkan kian tercerabut dari tangan mereka yang paling lemah.
Catatan seperti ini agaknya bisa kita asosiasikan dengan apa yang terjadi
di Aceh, Riau, Bangka Belitung, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTB,
Papua, dan sentra-sentra kegiatan ekonomi lainnya yang berkelimpahan
sumberdaya alam. Tentu disini kita tidak hendak mengatakan banyak
simpul-simpul wilayah di tanah air kita ibarat ‘wilayah takbertuan (baca:
Negara)’. Mengapa, karena kita masih berharap ada pemimpin-pemimpin
negara dan masyarakat yang bersedia bahu-membahu memastikan
terpenuhinya hak–hak dasar ini, agar kesenjangan sosial teratasi, lebih
jauh lagi kehadiran dan manfaat Otonomi Daerah terasa, dan kehadiran
institusi negara nasional Indonesia merdeka terasa.
viii Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang