Page 279 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 279
Keistimewan Yogyakarta
kepada rakyat, ikut memberi jaminan atasnya, dan melindungi
dari kekuatan besar yang tidak bisa dihadapi sendiri oleh rak-
yatnya. Agar aksesibilitas itu mendapat jaminan yang lang-
geng, maka perlu didefiniskan kembali apa arti adat itu, apakah
adat itu lebih menyangkut pada elit adat ataukah juga komu-
nitas/anggota adat, serta kelembagaan adat yang di dalamnya
ada “paugeran-paugeran” yang ditaati dan disepakati bersa-
ma, dan menjadi dokumen publik yang bisa dilihat agar semua-
nya bisa saling melakukan kontrol.
Sertifikasi tanah, sebagai tafsir minimalis terhadap pelak-
sanaan UUPA di Yogyakarta, sebaliknya juga rentan terhadap
praktik-praktik komersialisasi yang akan mengiringinya.
Sertifikasi seringkali, pada kenyataannya, menjadi awal untuk
memudahkan alih fungsi dan kepemilikan lahan melalui pasar
tanah. Tidak hanya pengalaman yang pernah terjadi di Yog-
yakarta (pada tahun 1919, 1984, dan 1990-an), juga di bebe-
rapa negara, kasus sertifikasi selalu memberi gambaran serupa.
Sebaliknya juga, status adat juga bisa menjadi kekuatan
imperatif untuk memarjinalkan masyarakat ketika adat digu-
nakan sebagai dalih oleh para elitenya. Kasus rencana penam-
bangan pasir besi di Kulon Progo memberi pemahaman bagi
kita, bagaimana seharusnya tanah yang dilindungi secara adat,
selayaknyalah diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat
banyak. Ia sekaligus menyadarkan akan bahaya yang ditim-
bulkan, jika adat justru hanya untuk memberi jaminan pada
segelintir orang. Adat dikerdilkan maknanya menjadi ‘hak
milik pribadi’ yang bisa ditawarkan kepada siapapun yang bisa
membelinya. Sebab adat adalah kebudayaan, sebagaimana
budaya, ia adalah ‘buatannya’ orang banyak.
Pelaksanaan UUPA di Yogyakarta barangkali juga bisa
256