Page 55 - Mereka yang Dikalahkan, Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang
P. 55
30 M. Nazir Salim
sumber daya alam nyata dan berlaku. Data-data yang penulis
dapatkan mengkonfirmasi tesis penulis bahwa sumber daya alam
kita menjadi objek paling penting di dalam melakukan eksploitasi
yang menyediakan ruang secara bebas kepada pemilik modal.
Habisnya hutan Indonesia dan hancurnya hutan alam menegaskan
bahwa negara sedang bertaruh untuk masyarakat tempatan atas
nama pembangunan, bukan pembangunan ekonomi warga dan
infrastrukturnya, melainkan melayani pasar, dan pusat menjadi
fasilitator terbaik untuk mimpi tersebut.
Pada bab III kisah lanjutan setelah liberalisasi kebijakan yang
dimulai dari eksploitasi hutan Indonesia, fase berikutnya adalah
pembangunan kebun kayu (HTI) dan kebun sawit (HGU). Dua
entitas komoditi yang berada di wilayah dua kementerian ini dalam
praktiknya adalah fase kebijakan lanjut. Pada periode pertama
adalah eksploitasi kayu untuk kepentingan pasar global, langkah
berikut adalah pembangunan perkebunan yang juga senafas, untuk
kepentingan pasar global. Di fase awal setelah lahir kebijakan dengan
Hak Penguasaan Hutan (HPH) kepada korporasi, kemudian terjadi
penggundulan hutan alam dan perusakan secara masif. Dalam
konteks ini, kemudian muncul eufimisme bahasa bagi korporasi,
“kami tidak melakukan deforestasi atau penghancuran hutan, kami
hanya menebang dan menggantinya dengan tanaman lain”.
Di Indonesia, suatu kemewahan jika perkebunan baik kebun
kayu maupun sawit dan tanaman lain dibangun dengan pola
partisipatif dengan masyarakat, suatu yang nyaris tidak ditemui.
Kejadiannya, di banyak tempat pola pembangunan perkebunan skala
luas justru dengan cara perampasan lahan. Praktiknya, large-scale
land acquisitions, memiliki pola-pola yang memaksakan kehendak,
sehingga muncul tindakan-tindakan refresif dari korporasi dengan
menggunakan fasilitas alat negara. Pemaksaan ini menghentikan
semua aktivitas warga di sekitar lahan terakuisisi: tanahnya diambil,