Page 178 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 178
C. Van Vollenhoven 139
inlandsche bevolking), dimana para para birokrat boleh berbuat
apa saja yang dikehendaki.
Adapun milik komunal hendaknya diartikan seperti apa
adanya; ia adalah suatu inlandsch bezitrecht (hak milik pribumi)
yang terlekat kepada dorpsbeschikkingsrecht (hak ulayat desa,
yang dengan kasar telah diingkari oleh pemerintah itu), tetapi
yang telah cukup masak untuk membebaskan diri secara yang
sewajarnya berhubung dengan kemajuan ekonomis.
Tetapi rencana undang-undang tersebut hendak menjadikan
milik komunal itu suatu milik desa (dorpseigendom), karena
menurut memori penjelasan tersebut diatas, desalah yang
dianggap mempunyai hak untuk “mengambil manfaat dengan
bebas dan penguasaan secara bebas” (het vrij genot en de vrije
beschikking) atas tanah-tanah sawah itu. Anggapan sebagai
dorpseigendom ini tentu saja ibarat suatu hukuman mati
bagi pemilik sawah yang akan membebaskan diri, dan pula
pemberian sawah-sawah yang balik dikuasai desa kepada orang-
orang baru (uitgifte van teruggevallen akkers aan nieuwelingen)
akan menjadi beku karenanya.
Demikian pula inlandsch bezitrecht yang telah berakar
dengan kuat didalam perasaan hukum orang Indonesia, dengan
sekali pukul akan dihancurkan, jika rencana undang-undang
itu tetap dikehendaki perubahan menjadi hak eigenom barat.
Mengenai pernyataan domein atas tanah-tanah pertanian-
sesuai dengan pernyataan hoofdadviseur (kepala pemeritah) dari
pemerintah sendiri, maka dengan aman kita berani mengatakan,
bahwa domeinverklaring tersebut merupakan suatu kegagalan,
suatu fiasco. Maka sungguh merupakan suatu perbuatan gila,
jika ontwerp tersebut hendak memuat pernyataan itu dalam
bentuk undang-undang, dan bahkan dalam suatu formule pula.