Page 191 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 191
152 Orang Indonesia dan Tanahnya
terlalu gelap, terlalu kacau dan sulit. Dilain pihak ia memberikan
suatu pikiran, seakan-akan pemerintah memaksakan azas-azas
despotis kepada kerajaan-kerajaan yang tidak bersifat despotis.
Ketiga: hendaknya peraturan-peraturan agraria yang baru
itu, dengan nyata-nyata dapat ditafsirkan serta diuji (getoetst)
oleh badan kehakiman.
Dengan makna ini maka akibat-akibat yang buruk dapat
dicegah, sehingga istilah-istilah seperti “gronden tot de dorpen
behoorende” (tanah-tanah yang termasuk lingkungan desa)
yang telah hitam putih dicantumkan didalam staatsblad atau
bijblad, tidak lagi dapat dipermainkan atau dijadikan sasaran
ejekan. Kepada penduduk dan juga kepada orang-orang lain
haruslah diberi hak untuk memohon keadilan didepan hakim
yang tidak memihak. Juga harus dicegah, agar supaya orang
tidak lagi bebas menafsirkan istilah groote hoofdplaatsen
(kota-kota besar) sebagai desa-desa yang berukuran besar
ketupat (duodecimodorpje), sehingga dengan mudah ia dapat
menyimpang dari hukum yang biasa.
Maka baik opperbestuur (pemerintah tertinggi) maupun
tweede kamer (kamar kedua parlemen Belanda) dewasa ini
berdiri dimuka persimpangan jalan.
Masih saja dapat dikatakan, bahwa arah dan tujuan daripada
politik agraria di Indonesia adalah bebas dari noda. Masih saja
dapat dikatakan—seperti yang telah kami singgung dalam
pendahuluan buku ini—bahwa akibat-akibat yang buruk itu
bukanlah karena tidak ada kemauan dari pemerintah, tetapi
hanya karena salah pengertian semata-mata. Ada juga yang
mengatakan, bahwa oleh karena pemimpin-pemimpin rakyat
belum cukup masak untuk mengajukan protes secara berguna
dan tepat mengenai soalnya (deeltreffend en zaakkundig), maka
orang berani merendahkan serta melanggar hak-hak mereka itu.