Page 72 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 72
C. Van Vollenhoven 33
Jawaban yang biasa terdengar adalah: dengan mengeluarkan
suatu dekrit, baik dalam bentuk peraturan undang-undang,
dengan yurisprudensi, maupun dengan peraturan-peraturan
swapraja (zel estuursverordening). Jadi misalnya dengan
mengeluarkan suatu dekrit yang memungkinkan seorang
pemilik tanah bangsa Indonesia melepaskan diri dari tekanan
hak ulayat; dengan dekrit yang melarang pengasingan tanah
kepada orang-orang asing bukan pribumi, kecuali didalam
hal-hal istimewa yang telah ditentukan oleh pemerintah
sendiri; dengan melarang seseorang memecah-mecah tanah.
Menghapuskan hak seseorang atas sebidang tanah yang
telah kembali menjadi padang belukar karena lama tidak
dimanfaatkan. Membuat peraturan-peraturan tersendiri bagi
pemilikan tanah di kota-kota besar. Dengan membuat peraturan-
peraturan yang mengikat yang mengatur hipotik warga pribumi.
Dengan memungkinkan seorang pribumi untuk memeperoleh
surat-surat bukti tertulis bagi hak-hak yang dimiliki, seperti
bezitrecht, genotrecht, bouwrecht, juga surat-surat bukti tertulis
dalam hal-hal transaksi. Dengan menjadikan hak membangun
itu suatu hak milik. Dengan membuat peraturan-peraturan
mengenai kekadaluarsaan, dan sebagainya.
Namun jalan ini mengandung banyak hambatan, apalagi
jika pemerintah tidak memperhatikan kenyataan yang ada,
apakah suatu daerah memang sungguh-sungguh sudah siap
untuk dapat menerima dekrit-dekrit tersebut. Sampai saat
ini (tahun 1919) pemerintah sudah banyak mengeluarkan
dekrit-dekrit semacam itu, misalnya: mengadakan aturan
untuk melakukan konversi pada tanah-tanah komunal di Jawa
(1885); memungkinkan seseorang untuk melepaskan diri dari
hak ulayat masyarakat hukum adat dengan jalan meminta agar