Page 74 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 74
C. Van Vollenhoven 35
Barat—ke arah keadaan yang ekonomis dan yuridis, yang
memang kita harapkan.
Di tanah Karo yang terletak di Sumatera Utara, tanah sawah
masih saja tidak dapat diasingkan—tetapi sudah dapat dijual
asal nanti dapat dibeli kembali (wederinkoop), suatu keadaan
yang biasa kita sebut verpanding (gadai).
Ditempat-tempat lain di daerah Batak, pengasingan tanah
kepada orang-orang desa, bahkan kepada hampir setiap orang
sudah diperbolehkan. Di daerah Minangkabau yang sudah
maju, kita jumpai pula adanya peralihan secara perlahan-lahan
dari bentuk penjualan yang mempergunakan persyaratan dapat
dibeli kembali kearah penjualan biasa. Di Poso, yaitu di daerah
Toraja di Sulawesi Tengah—seperti juga di daerah-daerah lain—
dengan masuknya cara bertani yang mempergunakan sistem
pengairan, terjadilah hak-hak baru atas tanah yang jauh lebih
kuat daripada dahulu. Jika pada permulaannya orang-orang dari
suatu suku atau desa tidak diizinkan memiliki hak-hak tanah
di atas wilayah hak penguasaaan dari desa lain—seperti yang
masih terdapat di Ambon—maka berangsur-angsur mereka
mulai dapat memperoleh genotrecht (hak mengambil manfaat
atas tanah) dalam waktu terbatas, kemudian akan diizinkan pula
memperoleh bezitrecht (hak milik) yang bersifat tetap.
Di Sulawesi Selatan dan juga ditempat-tempat lain yang
penduduknya sudah mulai padat, maka kebutuhan terhadap
tanah akan semakin mendesak dan nilai tanah menjadi semakin
tinggi, sehingga hukum adat sendiri menentukan supaya
hak milik atas tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya akan
dibatasi waktunya atau diganti dengan voorkeurrecht (hak
pengutamaan).
Di Bali, Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan juga di tempat-
tempat lain, ternyata hipotik pribumi semakin bertambah