Page 76 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 76
C. Van Vollenhoven 37
Hakim-hakim adat (inheemsche rechters, yaitu orang-
orang pribumi yang berdasarkan hukum adat berperan sebagai
hakim-hakim) terbukti berkali-kali menentang eigenrichting
13
(perbuatan semaunya sendiri) dalam soal milik tanah, tentangan
mana tentu saja dilakukan secara hukum adat. Mereka pun
menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang melakukan
eigenrichting tersebut. Maka, demi kepentingan pemerintah
sendiri, tidak mungkinkah dicari suatu jalan yang dapat
menyadarkan para birokrat itu dari kesesatan pandangan-
pandangannya yang aprioris, yang menganggap hukum adat
itu sebagai hukum yang tidak sempurna dan bernilai rendah?
Anjuran semacam ini pada tahun 1865 telah dibisikkan oleh
seorang ahli dan penasehat hukum yang bernama Kappeyne van
de Coppello kepada Fransen van de Putte, yang sebagaimana
kita ketahui bukan seorang ahli hukum. Tetapi anjuran yang
baik ini pada bulan Mei tahun 1866 mengalami kegagalan besar,
berdasarkan akal budi yang tinggi diri dari parlemen Tweede
Kamer.
Tetapi para birokrat tetap tidak suka melepaskan diri dari
kungkungan ide-idenya yang menjadi dasar dari tindakan-
tindakannya itu. Sebab menurut mereka adalah suatu pikiran
yang sungguh-sungguh cerdas untuk menukar hak-hak orang
Indonesia atas tanah-tanah pertaniannya dengan suatu hak
eigendom Barat. Menurut pandangan kami, pendapat ini
13 Catatan Editor: Hakim-hakim pribumi yang dimaksud disini
adalah hakim-hakim yang bertugas dalam sistem peradilan pribumi
berdasarkan hukum adat. Bedakan dengan hakim-hakim negara
berdarah pribumi yang dididik di institusi pendidikan hukum resmi,
seperti Rechtsschool dan Rechtshogeschool di Batavia, atau Fakultas
Hukum Universitas Leiden. Mereka ditugaskan di landraad dan
memiliki gelar resmi, seperti Rechtskundige (alumni Rechstschool)
atau Meester in de Rechten (alumni Leiden dan Rechtshoogeschool).