Page 78 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 78
C. Van Vollenhoven 39
Walaupun begitu di tahun 1873 muncul kembali pikiran untuk
memberikan saja hak eigendom Barat kepada orang-orang
Indonesia.
Mungkin di dalam kepala para birokrat ini masih berkecamuk
pikiran lama, yang menganggap bahwa hak eigendom Barat
adalah lebih sempurna, lebih lengkap dan lebih hebat daripada
bezitrecht (hak milik). Hanya saja pikiran ini sekarang lebih
diperhalus dan disederhanakan: bahwa setiap pemilik tanah
bangsa Indonesia, jadi tidak hanya mereka yang memiliki
hak eigendom Timur saja, melainkan tiap-tiap pemilik, baik
perseorangan, keluarga, ataupun suatu masyarakat desa akan
dianggap mempunyai hak eigendom. Jadi mereka itu akan
mempunyai hak subjektif yang tertinggi atas tanahnya. Maka
timbul suatu pertanyaan: bagaimanakah sekarang kedudukan
beschikkingsrecht atau hak ulayat yang meliputi hampir di
seluruh Hindia Belanda?
Jawabannya adalah bahwa adanya hak ulayat itu tidaklah
mengurangi anggapan yang menyebut hak milik pribumi
(inlandsch bezitrecht) sebagai hak subjektif tertinggi atas tanah.
Sebab melekatnya hak milik pribumi pada hak ulayat itu muncul
dari “ketentuan adat” (adatregeling) atau karena pernyataan dari
“kekuasaan adat” (adatheerschappij), yang dapat dipersamakan
dengan peraturan perundang-undangan daripada penguasa
yang berwenang di negara-negara modern, yang harus ditaati
pula oleh para pemilik grondeigendom (eigendom atas tanah).
Sepintas lalu alasan ini kelihatan tepat, tetapi sesungguhnya
suatu analogi yang salah, oleh karena hanya didasarkan pada
pengamatan yang tidak mendalam. Peraturan-peraturan
adat yang dapat kita samakan dengan peraturan perundang-
undangan di negara-negara Barat yang membatasi penggunaan
hak eigendom itu memang betul-betul ada, tetapi berdasarkan