Page 88 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 88
C. Van Vollenhoven 49
tidak kita jumpai pernyataannya dalam beberapa daerah hukum
adat; bahwa erfelijk individueele recht (hak perseorangan yang
dapat diwariskan) ini kemudian dapat pula diperlakukan bagi
sebuah zendingsgemeente (masyarakat yang didirikan oleh para
penyebar agama Kristen), meskipun beberapa asasnya sama
sekali tidak tepat. Jadi semua hak-hak yang beraneka ragam itu
akan dituang ke dalam tiga macam artian.
Hak ulayat dari sebuah desa haruslah merupakan suatu
gemeentelijk bezitrecht (suatu hak milik biasa, tetapi subyek dari
hak itu ada pada desa) atau tidak diakui sama sekali; genotrecht
(hak mengambil manfaat) seringkali dianggap hampa, namun
adakalanya hak tersebut dianggap sebagai hak yang lebih kuat
dan lebih banyak isinya daripada kenyataan yang sesungguhnya.
Juga sering terjadi, beberapa pernyataan dari hak ulayat dianggap
sedemikian kuat, yaitu dianggap sebagai gemeentelijk bezitrecht
(hak milik dari masyarakat hukum yang bersangkutan)—namun
pada waktu yang sama pernyataan-pernyataan lainnya dari hak
ulayat itu dianggap ibarat semak-semak liar (onkruid) biasa.
Maka jika terjadi peristiwa dimana birokrat itu menghadapi
beberapa macam hak yang berada di luar ketiga hal tersebut,
muncullah akibat-akibat yang mencelakakan. Misalnya jika
mereka menghadapi kenyataan seperti yang biasa terjadi
di Lampung, Borneo Selatan dan Timur (Kalimantan) dan
Amboina (Ambon), dimana persewaan tanah (grondverhuur)
juga dapat berlaku atas tanah-tanah pertanian yang tidak tetap
(tijdelijke bouwvelden), lagi pula untuk masa dua puluh tahun
lamanya. Oleh karena itu agak mengherankan jika kategori
yang memaksa ini (dit dwangbangbuis), oleh Indisch Staatsblad
(Lembaran Negara pada jaman Hindia Belanda) yang berlaku
17
di Jawa dari tahun 1885, dikatakan sebagai: “Suatu keadaan
17 Catatan editor: Staatsblad 1885 No. 102