Page 91 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 91
52 Orang Indonesia dan Tanahnya
tanah-tanah sawah, yang juga dikenal di Jawa dan di daerah-
daerah lain, didiamkan pula karena keadaan dianggapnya
tidak mengizinkan untuk memasukkan hak tersebut kedalam
pengertian hak milik komunal, sedangkan istilah atau nama
lain tidak dikenal dalam model-model Jawa. Di dalam setiap
transaksi, baik pengasingan maupun penggadaian tanah, yang
di daerah ini harus mendapat izin dari pemerintah desa, itupun
tidak diakui atau diatur, oleh karena tidak ada sebuah model
Jawa-pun yang menyebut-nyebut soal semacam itu. Hanya pasal-
pasal yang mengatur persoalan milik keluarga (familiebezit) —
seperti yang telah kita bicarakan di atas — hanya pasal-pasal
inilah yang berisikan dan memuat peraturan-peraturan yang
praktis dan mengandung kewajaran, serta tidak mencontoh
begitu saja dari salah satu model-model Jawa. Barangkali inilah
satu-satunya kemenangan dari pejabat-pejabat yang mengerti
sungguh-sungguh akan kebutuhan-kebutuhan yang nyata atas
para birokrat yang selalu tergila-gila dalam mementingkan
bentuk yang dianggap patut dan bercorak legislatif.
Peraturan Agraria bagi daerah Manado mempunyai
kelemahan-kelemahan yang sama seperti yang terjadi di
Minangkabau. Peraturan yang satu mencontoh peraturan yang
lainnya. Sedangkan di Minahasa (Manado), hak ulayat dari
sebuah desa atau distrik dan bezitrecht (dasar penguasaan) dari
desa atau distrik itu juga, adalah dua jenis hak yang sama sekali
berbeda satu sama lain, maka peraturan ini tidak menghiraukan
perbedaan itu. Yang mengherankan adalah jika di pulau Lombok
peraturannya tidak menyebut-nyebut tentang cara hilangnya
suatu bezitrecht (hak milik), sedangkan di Sumatera Barat
aturannya mewajibkan keharusan adanya suatu tanda bukti
bagi siapapun yang memegang hak atas sebidang tanah, maka
di Manado kita menjumpai aturan yang lebih sehat, oleh karena
peraturannya menentukan: “Bahwa ke dalam bezitgrond (tanah