Page 92 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 92
C. Van Vollenhoven 53
milik) termasuk pula cultuurgronden (tanah-tanah untuk usaha-
usaha pertanian) yang tidak lagi dikerjakan, selama hak-hak atas
tanah-tanah itu belum benar-benar dipindahkan.”
Kecuali pertanyaan ini, maka peraturan-peraturan Agraria
tersebut disusun sedemikian rupa, sehingga orang hampir sama
sekali tidak melihat pokok-pokok perbedaan yang sesungguhnya
yang terdapat di tiap-tiap daerah adat di Indonesia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebanyak mungkin dibuat
pasal-pasal yang seragam dan luas yang dapat berlaku di seluruh
daerah luar Jawa. Boleh jadi mereka mengharapkan dapat
membuat sebuah peraturan agraria saja untuk seluruh daerah
Jawa atau seluruh Hindia Belanda.
Dengan segenap uraian di atas, maka dua buah pokok
pertanyaan masih belum dapat kita jawab. Pertanyaan yang
pertama ialah: apakah peraturan-peraturan Agraria tersebut,
baik yang menguntungkan atau merugikan dipandang dari
sudut hak-hak penduduk, telah dapat memenuhi tuntutan-
tuntutan praktek dalam soal tanah-tanah pertanian? Pertanyaan
kedua: pernahkah orang berusaha mencari pemecahan soal-soal
agraria semacam itu di luar para birokrat?
Jawaban kami adalah jika dipandang dari sudut tuntutan-
tuntutan praktek, maka peraturan-peraturan tersebut disana-
sini memang dapat memberikan bantuan sekadarnya. Misalnya
penguatan hak atas tanah telah terjadi di Lombok, yaitu dengan
diubahnya bewerkingsrecht (hak mengusahakan) menjadi
inlandsch bezitrecht (hak milik pribumi) biasa (tentu saja masih
dalam lingkungan hak ulayat desa); di Sumatera Barat dan
Manado, penguatan ini diserahkan kepada perkembangan adat
sendiri. Akan tetapi disamping ketentuan-ketentuan yang baik,
misalnya yang menetapkan bahwa mereka yang mengerjakan
tanah-tanah pertuanan (landheergronden) di Lombok sekarang