Page 89 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 89

50      Orang Indonesia dan Tanahnya

            dimana penduduk pribumi mempunyai hak untuk memilih
            setiap bentuk yang dikehendaki dalam soal tanah-tanah
            milik mereka.” Bahwa pilihan bebas ini dianggap merupakan
            “salah satu dari asas-asas politik agraria” dari birokrat itu.
            Sesungguhnya penduduk pribumi memang bebas dalam
            memilih bentuk yang disukainya, asal saja pilihan tersebut
            sesuai dengan bentuk-bentuk pengertian dari para birokrat itu.

               Tidak perlu dikemukakan di sini bagaimana besarnya
            kekacauan yang telah timbul, sebagai akibat dari penggunaan
            pengertian-pengertian yang salah, yang disebabkan oleh
            pandangan pembentuk undang-undang Hindia Belanda yang
            Jawasentris, yang menetapkan hak-hak tanah di Lombok
            menurut artian-artian yang telah digunakan di Jawa. Pejabat-
            pejabat birokrat  menyatakan  bahwa di Lombok terdapat suatu
            communaal grondbezit yang kacau dan tidak begitu maju seperti
            di Jawa. Padahal di sekitar tahun-tahun itu juga, oleh beberapa
            orang pegawai pemerintah yang telah berpengalaman lama,
            sedang dipertahankan suatu pendapat (Thorbecke pun telah
            pula melihat kebenaran pendapat ini)—bahwa  communaal
            grondbezit (tanah milik komunal) sama sekali bukanlah suatu
            bezitrecht yang dipunyai oleh masyarakat desa sebagai badan
            hukum, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Lombok regeling
            dan Java ordonnantie dari tahun 1906; dalam tahun-tahun itu
            juga sedang timbul hal-hal yang tidak dikehendaki, sebagai
            akibat tindakan biro yang reaksioner yang menentang bebasnya
            tanah-tanah di Jawa Tengah (lihat Bab I); demikian pula pada
            tahun-tahun itu sebuah ordonansi dari tahun 1910 harus
            mengubah beberapa konstruksi biro di Jawa karena dianggap
            melalaikan asas-asasnya sendiri. Tetapi pada tahun 1912, pada
            waktu pemerintah menghadapi keadaan yang sama seperti
            yang telah terjadi di Lombok, yaitu pada waktu pemerintah
            bermaksud mengubah bouwrecht (hak mengusahakan) di
   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94