Page 94 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 94
C. Van Vollenhoven 55
dicantumkan. Tanah milik di kota-kota besar pun tidak diatur
tersendiri. Sedangkan ketentuan mengenai kekadaluarsaan
dalam hal seseorang terlambat didalam menerima sesuatu
hak (verwervingsverjaring), untungnya tidak dimasukkan
didalamnya. Jadi tuntutan-tuntutan praktis sebagian telah
dapat dipenuhi sebagian oleh Peraturan-peraturan ini, tetapi
penyesuaian Peraturan-peraturan tersebut dengan kebutuhan-
kebutuhan yang ada tidaklah cukup bebas.
Maka adalah suatu hal yang menggembirakan, sebagai
jawaban atas pertanyaan kedua, jika sehabis melakukan
penelitian yang mendalam, ada pula usaha-usaha yang
bertujuan memperbaiki hak-hak penduduk atas tanah-tanah
pertaniannya dengan tidak menggunakan artian-artian model
Jawa dan dengan melepaskan diri dari sistem birokrasi yang
sempit itu. Dengan sendirinya usaha semacam ini sangat sulit
dan berisiko, oleh karena hal pertama yang harus dilakukan
adalah membangunkan para birokrat dari tidur nyenyaknya itu.
Adapun untuk daerah Jambi, berdasarkan sebuah peraturan
bagi para hakim pribumi –sejak tahun 1906—oleh Residen
setempat telah dibuat beberapa ketentuan, yang sesungguhnya
tidak lain adalah sejenis dengan Peraturan Agraria dan dengan
tema (strekking) yang sama pula dengan peraturan untuk
pulau Lombok yang telah dibuat pada tahun itu juga. Peraturan
Jambi ini tidak mengingkari adanya kenyataan bahwa sebidang
tanah yang telah diusahakan dapat jatuh kembali kedalam
beschikkingsrecht (hak ulayat) yang penuh dari desa. Juga
didalam mengatur akibat dari hilangnya suatu bezitrecht (hak
milik), peraturan ini telah menggunakan pengertian-pengertian
Indonesia seperti yang terdapat dalam praktek kehidupan
bahkan menggunakan istilah-istilah adat sendiri, suatu hal
yang tidak mungkin dikerjakan oleh Bogor atau Jakarta. Disini
hak-hak penduduk atas tanah-tanah pertaniannya dan hak-hak