Page 35 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 35
22 Aristiono Nugroho, dkk.
landreform, apabila sengketa tersebut bersifat administratif.
Dalam konteks Desa Ngandagan di tahun 1947 – 1964 kebe-
ratan atas kebijakan Soemotirto tidak mudah untuk disalurkan
atau diekspresikan. Hal ini dikarenakan wibawa dan kekuatan
pengaruh yang ada pada diri Soemotirto terasa sangat besar
oleh masyarakat Desa Ngandagan. Resistensi barulah muncul
atau terekspresikan pada tahun 1963 yang berbuah pada pena-
hanan Soemotirto di Purworejo (baca: Kecamatan Purworejo
Kabupaten Purworejo) hingga awal tahun 1964. Sementara itu,
pada tahun 1964 – 1966 masyarakat Desa Ngandagan disibukkan
oleh trauma pemenjaraan Soemotirto, serta operasi pember-
sihan terhadap penganut dan simpatisan komunis oleh masya-
rakat umum. Setelah tahun 1966 hingga saat ini, ternyata land-
reform ala Soemotirto dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
Desa Ngandagan, sehingga “tanpa disadari” masyarakat Desa
Ngandagan kembali mendukung kebijakan Soemotirto. Bahkan
landreform ala Soemotirto mengalami internalisasi sosial
sehingga dipandang sebagai tradisi atau adat Desa Ngandagan.
Dengan demikian manfaat Pengadilan Landreform tidak pernah
dirasakan oleh masyarakat Desa Ngandagan, sejak pengadilan
ini dibentuk (secara nasional) tahun 1964 sampai berakhirnya
pada tahun 1970.
Hal yang mirip juga terjadi di Desa Karanganyar, di mana
masyarakat dan Pemerintah Desa Karanganyar belum sempat
menikmati pelaksanaan tugas Panitia Landreform, karena masih
terlibat dengan hiruk pikuk operasi pembersihan terhadap
penganut dan simpatisan komunis oleh masyarakat umum. Sete-
lah tahun 1966 hingga saat ini, ternyata landreform lokal yang
diterapkan di Desa Karanganyar telah dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat. Bahkan landreform lokal yang diterapkan di