Page 31 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 31
18 Aristiono Nugroho, dkk.
diterapkannya Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960, sebab masih luasnya tanah yang belum digarap oleh
masyarakat di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, dan Pulau
Sulawesi. Namun ketentuan ini menjadi tidak rasional di masa
kini, terutama ketika diletakkan pada konteks Desa Karanganyar.
Selain Desa Karanganyar, kondisi yang sama juga terjadi di
Desa Ngandagan, di mana kepadatan agrarisnya tidak memun-
culkan angka 2 Ha sebagai batas minimum. Desa Ngandagan
memiliki kepadatan agraris yang pada tahun 1947 mengarah
pada angka 45 ubin. Oleh karena batas minimum pemilikan
tanah antara Desa Ngandagan (1947) dengan nasional (Republik
Indonesia, 1960) memiliki semangat yang sama, tetapi berada
pada kondisi yang berbeda, maka angka batas minimum pemi-
likan tanahnya juga memunculkan angka yang berbeda. Batas
minimum pemilikan tanah pertanian (sawah) secara nasional
mencapai 2 Ha per keluarga petani, sedangkan bagi Desa Ngan-
dagan mencapai 45 ubin per keluarga petani.
Amanat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
sulit dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Ngandagan di Desa
Ngandagan, karena tidak ada tanah sawah yang tersedia untuk
menerapkan pasal tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 1947
Pemerintah Desa Ngandagan hanya berhasil memfasilitasi
penggarapan tanah sawah seluas 45 ubin kepada petani yang
yang tidak memiliki tanah sawah. Fasilitasi hak garap atas tanah
sawah seluas 45 ubin, saat ini telah menjadi adat Desa Ngan-
dagan karena telah dilaksanakan sejak tahun 1947 hingga
sekarang. Demikian pula halnya dengan Desa Karanganyar, yang
mampu memfasilitasi garap atas tanah sawah seluas 90 ubin
kepada petani yang yang tidak memiliki tanah sawah, yang saat
ini juga telah menjadi adat Desa Karanganyar karena telah dilak-