Page 32 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 32
Resonansi Landreform Lokal ... 19
sanakan sejak tahun 1947 hingga sekarang.
Pembentukan adat atas tanah di Desa Ngandagan dan Desa
Karanganyar ini dimungkinkan karena UUPA mengakui hukum
adat yang dianut suatu masyarakat. Pasal 5 UUPA menyatakan,
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepen-
tingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur hukum pada hukum agama.”
Berdasarkan adat yang dibangun oleh masyarakat Desa
Ngandagan melalui landreform lokalnya, maka batas minimum
pemilikan tanah pertanian (sawah) bukanlah 2 Ha melainkan
cukup 45 ubin, atau 45 x 14 m2, atau 630 m2, atau 0,063 Ha.
Masyarakat Desa Ngandagan tidak dapat mempraktekkan batas
minimum pemilikan tanah pertanian seluas 2 Ha, karena
kepadatan agrarisnya tidak memungkinkan. Walaupun belum
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh kulian, tetapi
tanah sawah seluas 0,063 Ha cukup untuk menyemangati masya-
rakat agar tetap mempertahankan livelihood on – farm, seraya
memadukannya dengan livelihood off – farm dan non farm. Hal
yang sama juga terjadi di Desa Karanganyar, meskipun dengan
luasan yang berbeda, yaitu 90 ubin atau 0,126 Ha.
Sesungguhnya secara nasional telah ada ikhtiar untuk men-
sukseskan landreform secara nasional di seluruh Indonesia, ter-
masuk di Desa Ngandagan dan Desa Karanganyar, dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 1961, yang
kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor
263 Tahun 1964. Berdasarkan keputusan presiden tersebut