Page 119 - Konstitusionalisme Agraria
P. 119
e. Domienverklaring untuk residentie Zuider en
Oosterafdeling van Borneo tersebut dalam pasal 1 dari
Staatsblad 1888 No.58;
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872
No. 117) dan peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai hipothek yang masih berlaku pada mulai berlakunya
Undang-undang ini;
Namun UUPA tidak mencabut sejumlah Ordonantie yang
mendasari kebijakan kehutanan serta Mijn Wet yang menjadi dasar
kebijakan pertambangan pada masa kolonial. Artinya, UUPA tidak
sepenuhnya melakukan penyatuan hukum untuk mengakhiri
sektoralisme regulasi di bidang agraria dan sumber daya alam. Pola
sekotralisme tersebutlah yang kemudian dilanjutkan pada masa Orde
Baru yang dilakukan oleh Pemerintah Orba dengan mengeluarkan
dua undang-undang pokok lainnya yaitu UU No. 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No. 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
UUPA menjadi landasan yuridis untuk melakukan land
reform karena di dalamnya mengatur dasar-dasar bagi pelaksanaan
land reform seperti pembatasan luas minimum dan maksimum
kepemilikan tanah, pernyataan tanah memiliki fungsi sosial dan
sebagai alat untuk mendorong terwujudnya keadilan sosial. Landasan
hukum tersebut seiring dengan kuatnya komitmen politik Presiden
Soekarno untuk melakukan land reform yang nampak sangat jelas
dalam pidato-pidato politiknya. Pada peringatan 15 tahun proklamasi,
17 Agustus 1960, Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang
diberi judul “Laksana malaekat yang menyerbu dari langit. Jalannya
revolusi kita.” Pada pidato yang diringkas sebagai Jarek (Jalan
Revolusi Kita) itu dibacakan sebulan sebelum diundangkannya UUPA
itu, Presiden Soekarno menyebutkan bahwa rencana melahirkan
UUPA merupakan kemajuan paling penting dalam sejarah revolusi
88 Konstitusionalisme Agraria