Page 150 - Tanah dan Ruang untuk Keadilan dan Kemakmuran Rakyat
P. 150
tertentu. Kawasan yang dimaksud dalam peraturan itu ialah
kawasan hutan dan perkebunan. Bukan sawah ataupun
ladang.
Sedangkan masyarakat Desa Bonto Masunggu bukanlah
masyarakat hukum adat lagi. Mereka juga tidak mukim di
dalam kawasan tertentu, seperti hutan lindung. Hanya
pemukiman dan tanah ‘Manarak’ (sawah dan ladang) mereka
yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung.
Lantas bagaimana perlindungan dan pengakuan hukum
tanah komunal ‘Manarak’ di Desa Bonto Masunggu?
Lutfi dan Shohibuddin (2016) menyampaikan bahwa
dibutuhkan terobosan hukum untuk mengakomodir sistem
pengelolaan tanah komunal yang beragam. Dalam tulisan itu,
UUPA pasal 16 ayat (1) poin h dinilai bisa menjadi dasar
pengakuan hak atas tanah komunal. Pasal tersebut
menyebutkan frasa “Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam
hak-hak tersebut di atas akan ditetapkan undang-undang...”.
Tanah komunal dapat dianggap masuk ke dalam ‘hak-hak lain
yang tidak disebutkan’ dalam UUPA itu (Lutfi dan
Shohibuddin 2016).
Konteks tanah komunal yang dibahas Lutfi dan
Shohibuddin ialah tanah gogolan di Sidoarjo Jawa Timur dan
tanah pakulen di Purworejo Jawa Tengah. Sistem tanah gogol
gilir, hampir sama dengan sistem tanah ‘Manarak’ di Desa
Bonto Masunggu.
Selain terobosan hukum, masih ada dua hal lagi yang
penting dilakukan untuk keberadaan hak komunal (Lutfi dan
Shohibuddin 2016). Pertama, perlu untuk memperluas
kategori sumber daya bersama, bukan hanya tanah. Semisal
mata air yang menjadi sumber daya publik.
119