Page 21 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 21

xx     Herman Soesangobeng

            keagrariaan BW/KUHPInd. Karena itu, penegakkan UUPA 1960
            senantiasa menimbulkan pertentangan bahkan sengketa menahun
            (perennial conflict) soal pertanahan dan keagrariaan antara Rakyat
            dengan Pemerntah/Negara dan Pengusaha.
                Mengingat maksud dan tujuan pembuatan Undang-Undang
            Pertanahan Indonesia, maka tulisan ini diawali dengan penjelasan
            tentang sejarah pembakuan kategori sistim hukum pertanahan
            dan keagrariaan yang  diwarisi sejak  zaman Romawi. Kategori
            mana, telah dianut oleh semua sistim hukum pertanahan serta
            keagrariaan  masarakat dunia  moderen hingga kini. Uraian
            penjelasan ini, dijelaskan dalam Bab II. Penjelasan itu diperlukan,
            untuk meluruskan kekeliruan tafsir yang dianut sejak lahirnya
            UUPA 1960, yang menyebabkan kesalahan tafsir antara lingkup
            kuasa hukum pertanahan dan keagrariaan atau agaria. Akibatnya,
            acuan penegakkan hukumnya, tetap berpedoman pada dasar-dasar
            filosofi, asas, ajaran dan teori bahkan praktek hukum pertanahan
            maupun  keagrariaan/agraria  kolonial Belanda; terhadap WNI,
            yang dalam  sistim  hukum  ketatanegaraan  Hindia  Belanda
            disebut penduduk  Bumiputra.  Satu  kesalahan mendasar  yang
            tidak pernah disadari, adalah bahwa  pelaksanaan sistim hukum
            pertanahan dan keagrariaan BW/KUHPInd. serta hukum agraria
            kolonial Belanda, hanya mengakui dan mengatur hak agrarianya
            penduduk  Bumiputra,  tanpa mengakui hak milik keperdataan
            orang Indonesia atas tanahnya.
                Selanjutnya, karena kenyataan kesalahan tafsir dan kekeliruan
            tindakan penegakkan hukum terhadap WNI itu, disebabkan
            oleh kurang pahamnya pejabat Negara Republik Indonesia atas
            cara penegakkan serta penggunaan lembaga-lembaga hukum
            BW/KUHPInd. oleh  pejabat penegak hukum pertanahan dan
            keagrariaan kolonial Belanda, maka dijelaskan pula sejarah berupa
            fakta  pengenalan norma  serta  kelembagaan hukum  maupun
            praktek  penegakkannya  pada  masa  kolonisasi kolonial Belanda,
            yang diuraikan dalam Bab III dan Bab IV. Uraian penjelasan dalam
            dua Bab ini menjadi sangat panjang karena dilakukan dengan rinci.
            Panjangnya rincian penjelasan tersebut, adalah karena dilakukan
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26