Page 26 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 26

Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum ....     xxv


               mengatur  penyediaan,  penggunaan, dan pemanfaatan  tanah
               oleh WNI  maupun  non-WNI.    Jadi  Negara bukanlah pemilik
               sebernarnya yang sempurna dan mutlak (eigenaar-Bld.,  dominus-
               Lat.)  atas tanah,  melainkan  masih  sebagai pemilik  yang belum
               sempurna yaitu sebagai ‘empunya’ (bezitter) tanah.
                   Kemudian,  untuk  memberikan  acuan  pedoman  tafsir
               atas norma  dan  lembaga hukum  adat,  pada  Bab.  VIII  ini  pun
               diperkenalkan suatu model penafsiran kembali hukum adat secara
               kontemporer.  Model penafsiran  kembali  itu,  dilakukan dengan
               menggunakan  teori  ‘de  facto-de  jure’  yang disesuaikan  dengan
               perubahan bentuk  Negara  dan  filosofi  dasarnya  Pancasila,  serta
               kedudukan  hukum  Rakyatnya sebagai Warga Negara Republik
               Indonesia.  Maka model penafsiran kembali ini, bersifat merubah
               dan memperkenalkan logika pemikiran  serta penafsiran hukum
               pengganti model pemikiran serta logika penafsiran hukum
               teori kepemilikan tanah ‘eigendom’ dan ‘Staat eigendom’ Belanda
               berdasarkan teori ‘domeinverklaring’.
                   Selanjutnya sebagai konsekwensi logis dari penghapusan ajaran
               dan teori ‘domeinverklaring’, maka teori ‘woeste grond’ yang diajarkan
               Nols Trenite bagi pelaksanaan ajaran teori ‘domeinverklaring’ di luar
               Jawa-Madura, pun harus dihapus. Ajaran teori ‘woeste  grond’ itu
               harus dihapus! Karena telah dijadikan indikator utama, oleh pejabat
               Negara Hindia Belanda dalam memastikan status hukum tanah
               milik Negara (landsdomein) dari tanah yang sudah dimiliki dengan
               hak perorangan (privaat eigendom) dan yang sudah diduduki (bezit)
               serta digarap penduduk Bumiputra, dinyatakan menjadi berstatus
               hukum  tanah ‘milik  negara  tidak  bebas’ (onvrijlandsdomein).
               Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda, berhak dan
               berkuasa dengan bebas menetapkan pemberian peruntukan dan
               penggunaan tanah miliknya kepada pengusaha besar Belanda atau
               pemodal asing lainnya.
                   Penggunaan praktisnya teori ‘woeste grond’ itu, sangat merugikan
               hak rakyat Indonesia karena dihapusnya hak kepemilikan
               keperdataan atas tanah milik mereka yang diduduki dan diwarisi
               berdasarkan  hukum  adat.  Berdasarkan  ketentuan  Agrarische  Wet
   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31