Page 31 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 31
4 Herman Soesangobeng
serta Ter Haar , agar sesuai dengan cara berpikir maupun
3
alam pikiran filosofis masyarakat Indonesia.
4. Selain itu, karena lamanya pengaruh pengenalan
serta praktek penegakkan politik maupun lembaga
hukum Belanda selama masa penjajahan, maka gambaran
penggunaan norma, lembaga maupun praktek pelaksanaannya
pada masa pemerintahan Belanda pun perlu digambarkan.
Gambaran mana berfungsi untuk menjelaskan kekeliruan dan
kesalahan penegakkan hukum pertanahan dan keagrariaan,
setelah kemerdekaan Indonesia serta terbentuknya Negara
Republik Indonesia dan orang Bumiputra menjadi Warga
Negara Indonesia (WNI). Pemahaman atas kekeliruan
penggunaan norma, lembaga, dan paradigma hukum warisan
Belanda, itu perlu diganti dengan norma, lembaga dan
paradigma hukum yang sesuai dengan ideologi bangsa
dan Negara yaitu Pancasila, serta filosofi dasar hukum
pertanahan yang telah dirumuskan Pasal 33 UUD 1945.
Untuk itu, karena sumber dasar hukum pertanahan dan
keagrariaan Indonesia adalah Hukum Adat, maka filosofi,
teori, ajaran dan asas-asas Hukum Pertanahan Adat pun
perlu dijelaskan. Penjelasan itu bukan untuk membakukan
dan melembagakan kembali norma maupun lembaga Hukum
Adat tradisional ke dalam sistim hukum pertanahan
dan keagrariaan Nasional, melainkan untuk dijadikan
sumber dasar penafsiran bagi perumusan kembali norma
adat secara kontemporer, sebelum dilembagakan kembali
menjadi teori, lembaga dan norma baru ke dalam sistim
Hukum Pertanahan Nasional Indonesia.
5. Perlu dikemukakan pula bahwa struktur hubungan hukum
pertanahan dan keagrariaan, merupakan hubungan pertalian
sinergi antara filosofi norma- norma dasar umum tentang
hak keperdataan pemilikan tanah, dengan peraturan khusus
tentang penggunaan serta pemanfaatan tanah. Maka hukum
3 Cf. B. Ter Haar, Beginselen en stelsel van het adatrecht,
Groningen-Batavia: J.B. Wolters, 1941