Page 27 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 27

xxvi     Herman Soesangobeng

            1870  dan  Agrarisch Besluit  1870,  maka  perlindungan  terhadap
            hak-hak rakyat, dibatasi hanya pada daerah yang dikategorikan
            termasuk area desa (desa gebied) yang secara hukum disebut tanah
            milik Negara Belanda tidak bebas  (onvrijlandsdomein). Tanah di
            luar area desa, disebut area hutan belukar (woeste grond), yang di
            Jawa-Madura otomatis merupakan  tanah milik  Negara Belanda
            bebas (vrijlandsdomein). Pada area hutan yang merupakan tanah
            milik Negara Belanda bebas itulah Gubernur Jenderal (GG)
            atas nama pemerintah  kolonial Belanda boleh dengan bebas
            menyewakan kepada pengusaha perkebunan Belanda dengan hak
            ‘erfpach’ selama 75  tahun.  Selanjutnya, karena sulitnya masalah
            membawa  masarakat  hukum adat  dan  hak-hak atas tanahnya
            ke dalam pengaruh Hukum Pertanahan Indonesia, maka status
            hukum masarakat hukum adat dan hak-hak  atas tanahnya
            pun dianalisa untuk menjelaskan  cara menanganinya. Uraian
            dan analisa itu disajikan dalam Bab. IX. Akhirnya pada Bab. X
            diberikan epilog sebagai kesimpulan dari tinjauan kesejarahan bagi
            upaya pembentukan Undang-Undang Pertanahan Indonesia yang
            disajikan dalam buku naskah akademis ini.

            Rincian  penjelasan hukum  ini,  penulis peroleh dari  penjelasan
            JBAF Mayor Polak, seorang mantan Controleur di Bali,  dalam
            disikusi di Malang pada tahun 1967, dan penjelasan HWJ Sonius,
            seorang mantan  Controleur  di  Banyuwangi, dalam diskusi di
            Amsterdam pada tahun 1974.
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32