Page 24 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 24
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... xxiii
Setelah itu, dijelaskan hakekat makna filosofi, asas, ajaran
maupun teori Hukum Pertanahan Adat Indonesia, yang oleh Van
Vollenhoven diperkenalkan dengan menggunakan istilah bahasa
hukum adat ciptaannya yaitu ‘beschikkingsrecht’. Suatu istilah yang
banyak disalah artikan dengan menerjemahkannya menjadi ‘hak
ulayat’, untuk menunjukkan sifat khas hak atas tanah menurut
hukum adat, yang dikatakan bersifat ‘komunal’. Akibatnya, hakekat
makna istilah ‘beschikkingsrecht’ sebagai sebuah teori hukum adat
menjadi tidak dipahami, bahkan dirancukan serta dipersempit
maknanya menjadi sama sebagai sebuah hak keperdataan adat atas
tanah. Padahal makna teoritis dari ‘beschikkingsrecht’ itu, kemudian
dipertegas dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ter Haar menjadi
sebuah sistim hukum pertanahan dan keagrariaan adat. Dengan
demikian, tampak struktur maupun susunan hak serta perbuatan
hukumnya dalam sistim hukum pertanahan dan keagrariaan adat
yang khas Indonesia. Penjelasan bagi pelurusan makna teoritis
istilah ‘beschikkingsrecht’ itu dijelaskan dalam Bab V.
Kemudian, karena norma dan kelembagaan hukum adat
tradisional, dahulu dikembangkan dalam suasana terisolasi
dan terkungkung oleh hukum kolonial Belanda, maka ia perlu
diterjemahkan kembali serta ditafsir secara kontemporer agar bisa
diberlakukan dalam sistim hukum nasional dan menjadi hukum
positif bagi semua warga Negara Indonesia. Upaya itu dijelaskan
dalam Bab VI. Model penafsiran kembali ini, tidak mengacu
pada rumusan norma-norma maupun kelembagaan Hukum Adat
tradisional yang sangat beraneka ragam, sehingga tampak berbeda-
beda antara daerah satu dengan lainnya; melainkan, dipusatkan
pada pemastian hakekat konsep hukumnya yaitu filosofi Hukum
Pertanahan Adat Indonesia (beschikkingsrecht). Untuk itu, filosofi
dasar hukum pertanahan adat yang tercermin dalam asas, ajaran,
dan teorinya, diabstraksikan menjadi premis-premis dan postulasi-
postulasi dasar teori ‘de facto-de jure’ yang dijadikan pedoman
acuan penafsiran kembali norma maupun kelembagaan Hukum
Adat tradisional Indonesia; dimana hasilnya lalu dilembagakan
kembali (reinstitutionalized) menjadi sistim Hukum Pertanahan dan