Page 19 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 19

xviii     Herman Soesangobeng

            kesalahpahaman dan kekeliruan tafsir dalam penggunaan konsep-
            konsep dasar maupun  kelembagaan hukum pertanahan dan
            keagrariaan, yang menimbulkan sengketa menahun (perennial
            conflict) yang sulit diselesaikan secara berkeadilan dan beradab
            kemanusiaan.  Kedua,  untuk  digunakan sebagai acuan pedoman
            dasar pembenahan administrasi pertanahan dan hubungan
            keagrariaan yang selama ini dirancukan, karena penegakkan UUPA
            1960 masih menggunakan acuan dasar-dasar filosofi, asas, ajaran
            dan  teori  hukum  pertanahan serta  keagrariaan  BW/KUHPInd.
            dari masa VOC dan  kolonialisme Belanda dengan Negara Hindia
            Belanda (Oost Indisch-Nederlands).
                Undang-Undang Pertanahan Indonesia itu dapat berperan dan
            berfungsi sebagai acuan dasar pelurusan konsep serta penggunaan
            lembaga hukum  pengganti  konsep dan  kelembagaan  BW/
            KUHPInd. Karena BW/KUHPInd. berisikan norma atau kaidah
            hukum yang  bertentangan dengan filosofi Hukum Pertanahan
            Adat Indonesia. Beberapa unsur filosofi, asas, ajaran, dan teori
            Hukum  Pertanahan Adat  Indonesia  itu,  sudah diterjemahkan
            secara kontemporer dan dilembagakan kembali, sesuai dengan
            perkembangan dan pertumbuhan bangsa serta Negara Indonesia
            yang merdeka  dan  berdaulat  atas  tanahnya.  Fakta  itu  tampak
            jelas dalam rumusan Pancasila, pasal 33 UUD 1945, dan pasal 1
            sampai dengan 15 UUPA 1960. Maka teori ‘de facto-de jure’, layak
            dijadikan pedoman acuan pencegahan kesimpangsiuran penafsiran
            dengan paradigma  penggunaan kelembagaan hukum  kolonial
            Belanda  terhadap  Warga  Negara  Indonesia  (WNI).  Kesalahan
            tafsir dan kekeliruan penggunaan lembaga dengan paradigma
            hukum BW/KUHPInd.  serta administrasi keagrariaan kolonial
            Belanda  selama  ini,  terbukti  telah  menyebabkan terjadinya
            pelanggaran-pelangaran hak  azasi  warga  Negara  Indonesia
            (HAWNI), maupun hak azasi manusia (HAM) atas tanah. Maka
            dengan adanya Undang-Undang Pertanahan Indonesia dan teori
            ‘de facto-de jure’, dapat diakhiri secara tuntas penggunaan BW/
            KUHPInd., termasuk praktek penegakkan hukum agraria dengan
            paradigma kolonial Belanda terhadap WNI; disamping juga untuk
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24