Page 103 - Biografi Managam Manurung
P. 103
88 Oloan Sitorus, Dwi Wulan P., Widhiana HP.
nangnya: “Istri saya sejak awal nggak suka kembali ke Medan. Kalau
bapak ke Medan, biar saya disini saja. Dari awal doa nyonya nggak
suka saya pindah ke Medan dimana pun itu”.
Pada periode tahun 1999, BPN RI mendapat pukulan yang
cukup hebat seriring dengan bergulirnya wacana tentang otonomi
daerah yang lahir bersamaan dengan UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menyalakan semangat
desentralisasi dengan konsep otonomi daerahnya. Sebagian besar
jajaran staf di BPN RI sudah mempersiapkan diri untuk menerima
dampak dari otonomi daerah. Dengan otonomi daerah, urusan
pertanahan menjadi salah satu dari 5 (lima) bidang urusan yang
harus didesentralisasikan kepada daerah. Hal ini berarti urusan
pertanahan nantinya menjadi kewenangan yang wajib dilaksa-
nakan daerah, sehingga masing-masing daerah berhak untuk
mengatur dan menentukan pengelolaannya. Jika demikian ada-
nya, konsekuensi terbesar adalah keberadaan BPN RI tidak lagi
dibutuhkan karena kewenangannya sudah diserahkan kepada
Pemerintah Daerah. Dengan kata lain, BPN sangat rentan
dibubarkan karena dianggap tidak diperlukan lagi.
Otonomi daerah menimbulkan kegoncangan di internal
BPN. Masing-masing staf sampai Sekretaris Utama yang saat itu
dijabat oleh Pak Masri Asyik sudah pasrah dan menyerah dengan
situasi ini. Tidak ada yang bisa dilakukan karena semuanya
sudah diperintahkan dalam UU (sudah given), tidak dapat dita-
war-tawar lagi. Bahkan Kabag pengembangan saat itu, Pak
Boyman, sudah mendistribusikan form bagi seluruh staf untuk
menentukan lokasi permohonan penempatan di masing-masing
pemerintah daerah yang diinginkan di seluruh Indonesia.
Rapat pembahasan menghadapi otonomi daerah terus dila-
kukan di kantor BPN Pusat. Sebagian besar pejabat BPN kala itu