Page 193 - Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
P. 193

undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-
                peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman dulu seringkali diabaikan.
                Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-undang
                Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu,
                maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak
                tersebut menurut kenyataan masih ada pada masyarakat hukum yang
                bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah
                (umpamanya hak huna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan
                sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberikan “recognitie”.
                Yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang Hak Ulayat itu.

                     Berkaitan dengan  “recognitie”,  hak ulayat mempunyai kekuatan
                yang berlaku ke dalam dan ke luar. Kedalam berkaitan dengan
                anggota masyarakat hukum adat sedang kekuatan yang berlaku ke luar
                adalah orang lain bukan anggota masyarakat hukum adat tetapi yang
                memperoleh  izin  untuk  memakai  atau  menggunakan  tanah  dengan
                sebelumnya memenuhi syarat-syarat yakni membayar sesuatu atau upeti
                sebagai tanda pengakuan.
                     Mereka yang datang dari luar harus berhubungan dengan
                penghulu-penghulu rakyat untuk mendapat izin. Permohonan izin itu
                menurut cara Indonesia patutnya disertai dengan sekedar pemberian
                untuk membuka jalan ke arah jawaban (yang baik). Selanjutnya maka di
                beberapa lingkungan hukum terdapat tanda yang kelihatan mata sebagai
                pendahuluan, wang pemasuqan (Aceh), mesi (Jawa), dibayarkan pada
                permulaan mempergunakan tanah oleh porang asing, yaitu suatu tanda
                dari pada kenyataan bahwa ia dengan kesadarannya pendatang di tanah
                milik orang lain untuk memungut hasilnya. Mereka yang buka golongan
                marga yang “meraja” (heersende  marga) misalnya di Angkola, dapat
                memperoleh izin mendirikan dusun dalam daerah beschhikkingrecht-nya
                satu kuria (dusun itu lantas disebut; huta na ro); penghulu (si pembangun
                dusun, raja sioban ripe) harus membayar dengan enam ekor kerbau yang
                diperuntukkan buat masyarakat seluruhnya di induk dusun dan dusun-
                dusun lainnya, yang merupakan se kuria dan arena demikianlah maka di
                Bali seluruh penduduk padukuhan imigran-imigran kastala (termasuk



                                           176
   188   189   190   191   192   193   194   195   196   197   198