Page 194 - Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
P. 194
juga pegawai-pegawai raja yang dipekerjakan buat sementara di sana) di
tanah tnganam (Bali) tak lain dan tak bukan hanya pemaroh-pemaroh
(deelbouwers) atas tanah-tanah pertaniannya orang-orang tnganam. 193
Menurut Hukum Adat apabila tanah ulayat yang dipakai oleh orang
lain bukan anggota masyarakat hukum adat telah habis penggunaannya,
maka tanah ulayat itu harus kembali kepada masyarakat Hukum Adat.
Recognitie yang diberikan tidak berupa tanah ulayat menjadi milik orang
lain bukan anggota masyarakat Hukum Adat. Tanah Ulayat tersebut
akan dimiliki oleh masyarakat hukum adat untuk dimanfaatkan.
Terkait dengan pemberian recognitie, dalam KEPPRES Nomor 55
Tahun 1993 Tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
Untuk Kepentingan Umum kemudian diatur dalam Peraturan Presiden
nomor 36 Tahun 2005 Tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangungan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah
peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pengaturannya diatur dalam Paasal 1 dan Pasal 9 yang mana pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum harus
melalui suatu musyawarah. Pasal 1 ayat (5) mempertegas bahwa :
“Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling menerima
pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan pihak
pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah,
untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti kerugian.”
Selanjutnya dalam Pasal 14 menyatakan bahwa :
“penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak
ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau
bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.”
Jelasnya terlihat bahwa musyawarah tersebut tidak saja menyangkut
ganti rugi kepada pemegang Hak Ulayat masyarakat hukum adat tetapi
193 Ter Haar. Op Cit, hal 57
177