Page 165 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 165
156 Aristiono Nugroho, Suharno, dan Tullus Subroto
aspek kesejahteraan. Hal ini terbukti, ketika angka kemiskinan
di Desa Prigelan ternyata lebih rendah dari angka kemiskinan
Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, dan nasional (Republik
Indonesia). Angka kemiskinan Desa Prigelan yang mencapai
7,86 % atau bila dibulatkan menjadi 8 % jauh lebih rendah, saat
dibandingkan dengan: (1) angka kemiskinan Kabupaten Purworejo
yang mencapai 15 %, (2) angka kemiskinan Provinsi Jawa Tengah
yang mencapai 15 %, (3) angka kemiskinan nasional (Republik
Indonesia) yang mencapai 12 % (lihat Sindonews.com, 2013; dan
Sorot Purworejo, 2015).
Angka kemiskinan Desa Prigelan yang hanya 7,86 %
sesungguhnya masih berpeluang meningkat, karena para petani
memiliki ketergantungan yang kuat pada kondisi alam (musim
penghujan dan musim kemarau). Meskipun selama ini kondisi alam
di Desa Prigelan masih “ramah” terhadap petani, tetapi pertanian
memang memiliki resiko yang besar dalam konteks kondisi
alam. Optimisme muncul, karena selama ini pertanian mampu
memberikan penghasilan bagi petani, sehingga kebutuhan mereka
dapat terpenuhi. Para petani memanfaatkan tanah sawah dan
pekarangan yang dikuasai atau dimilikinya dengan cara-cara, dan
peralatan yang masih sederhana. Hal inilah yang akhirnya membuat
orang-orang di luar Desa Prigelan menyebut masyarakat desa ini
sebagai masyarakat agraris, yang memiliki keberdayaan agraris.
Sebutan ini relevan, karena berbagai kegiatan sosial dan ekonomi di
desa ini berpusat pada pertanian. Dengan kata lain sektor pertanian
telah “menghidupkan” Desa Prigelan melalui penciptaan beberapa
lapangan kerja yang terkait dengan pertanian.
Sementara itu, rendahnya angka kemiskinan di Desa
Prigelan (7,86 %) tidak dapat dipungkiri merupakan dampak dari
diterapkannya strategi penguasaan tanah. Sebagaimana diketahui