Page 84 - Relasi Kuasa: Dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan
P. 84
Relasi Kuasa dalam Strategi Pertanahan di Desa Prigelan 75
dibanding konflik. Sementara itu, sebagian ilmuwan sosial lainnya
(terutama Samuel Popkin) lebih menekankan alasan rasionalitas.
Mereka menjelaskan, bahwa tindakan petani (pemilik tanah
sawah) tidak semata-mata karena moralitas, melainkan karena
pertimbangan rasional. Sikap petani muncul dari kesadaran untuk
memilih tindakan terbaik dan paling menguntungkan baginya.
Bila ingin melakukan “perlawanan” adalah lebih mudah beralih
ke pekerjaan lain (non pertanian), daripada harus melawan tradisi
yang berlaku di Desa Prigelan, karena cara ini lebih efisien daripada
melakukan protes atau menentang penguasa dan masyarakat desa.
Bila tidak cermat memaknai perilaku petani, perlawanan atas
penerapan suatu tradisi (termasuk penerapan strategi pertanahan
di Desa Prigelan) sering dianggap sebagai perilaku yang tidak
diinginkan (undesirable behavior). Anggapan ini akan memberi
dorongan pada penguasa untuk melakukan intervensi perilaku
sosial, melalui pemberian punishment (sanksi) maupun pemberian
reward (hadiah). Hal ini dimungkinkan karena adanya kewenangan
formal yang dimiliki penguasa, sehingga mampu mengerahkan
usaha yang besar dan efektif.
Secara jangka panjang pola penanganan semacam ini tidak
menguntungkan bagi penerapan suatu tradisi (strategi pertanahan),
karena pihak yang diintervensi (yaitu petani) akan memberi reaksi
negatif. Perlawanan terhenti lebih karena untuk menghindari
konsekuensi negatif (punishment), daripada mengerti tentang
urgensi suatu tradisi (strategi pertanahan). Oleh karena itu,
Pemerintah Desa Prigelan lebih memilih pola penerapan power over
relation seraya memperlihatkan power to relation. Power over relation
diterapkan untuk “mengarahkan” pemahaman petani terhadap
strategi pertanahan melalui perangkat desa yang menjabat sebagai
ketua gapoktan dan ketua kelompok tani. Sementara itu, power to